7 Sikap Sederhana untuk Menjadikan Lebaran Lebih Bermakna Tahun Ini

2 days ago 10

Fimela.com, Jakarta Ada hal menarik yang kerap luput kita sadari ketika Lebaran tiba. Di tengah hiruk-pikuk persiapan baju baru, daftar menu hidangan, hingga rencana mudik yang padat, kita justru sering terjebak dalam rutinitas simbolik. Seolah-olah Lebaran hanyalah sebuah formalitas yang sudah ada cetak birunya.

Padahal, di balik semua itu, ada ruang yang bisa diisi dengan makna personal—makna yang tidak melulu bergantung pada kemeriahan, tetapi justru tersembunyi dalam sikap-sikap sederhana yang lahir dari kesadaran diri. Lebaran bukan sekadar perayaan kolektif, melainkan juga momentum refleksi, di mana kita bisa memilih, apakah ingin menjadi bagian dari arus atau menciptakan nilai lebih yang abadi untuk diri sendiri dan orang lain.

Sahabat Fimela, tahun ini, mengapa tidak mencoba menapaki Lebaran dengan pendekatan berbeda? Mari kita geser sedikit perspektif. Alih-alih menumpuk ekspektasi dari luar, kita bisa mulai menata ulang sikap-sikap kecil yang selama ini terabaikan.

Bukan hal besar, bukan pula sesuatu yang memerlukan effort berlebihan. Justru sikap sederhana—yang sering tidak dianggap istimewa—bisa menjadi kunci agar Lebaran terasa lebih hangat, lebih berkesan, dan lebih membekas di hati. Berikut tujuh sikap yang bisa Sahabat Fimela praktikkan untuk menjadikan Lebaran tahun ini penuh arti, bukan sekadar seremoni.

1. Menyisihkan Waktu tanpa Gangguan Digital

Sahabat Fimela, tanpa disadari, notifikasi ponsel sering kali mencuri atensi kita bahkan di momen Lebaran. Setiap detik berlomba-lomba menarik perhatian: pesan masuk, update media sosial, atau sekadar keinginan memeriksa layar. Mengapa tidak, untuk kali ini, kita menyediakan waktu sejenak benar-benar bebas dari distraksi digital?

Matikan ponsel, biarkan sepi menjadi teman. Saat itu, hadir sepenuhnya untuk orang-orang terdekat. Mendengarkan tanpa tergesa, menyimak tanpa interupsi. Kadang, kebersamaan sederhana yang tanpa gadget justru menghadirkan rasa yang jarang kita rasakan dalam keseharian.

Dengan memberi ruang hening, kita membiarkan diri lebih utuh berada di tengah keluarga. Tidak ada yang lebih menenangkan selain menyadari bahwa momen sesungguhnya terjadi di depan mata, bukan di balik layar.

2. Mengajak yang Terlupakan, Bukan yang Terlihat

Kerap kali, daftar undangan halal bihalal dipenuhi dengan nama-nama yang akrab di media sosial atau lingkungan kerja. Tapi bagaimana dengan mereka yang jarang terdengar, seperti tetangga lanjut usia, teman lama yang hidup sederhana, atau kerabat jauh yang tak sempat hadir di grup percakapan?

Sahabat Fimela, tahun ini, cobalah mengulurkan tangan pada mereka yang tak masuk radar utama. Sapa langsung tanpa basa-basi digital. Mungkin dengan sekadar mampir membawa makanan kecil, atau mengajak berbincang tanpa alasan formal.

Sering kali, mereka yang terpinggirkan justru menjadi cermin ketulusan yang kita cari. Memberi perhatian pada yang luput bukan hanya membuat mereka bahagia, tetapi diam-diam memperluas makna silaturahmi yang sesungguhnya.

3. Memberi Ruang Cerita pada Orang Lain

Banyak dari kita secara naluriah membawa cerita sendiri saat Lebaran—tentang pekerjaan, pencapaian, atau rencana masa depan. Namun, tahun ini, bagaimana jika kita memilih jadi pendengar yang sabar?

Sahabat Fimela, beri ruang lebih banyak untuk cerita orang lain. Tanyakan kabar mereka dengan sungguh-sungguh, tanpa niat menyelipkan kisah pribadi sebagai balasan. Ada kekuatan di balik mendengarkan tanpa niat membandingkan.

Sikap sederhana ini sering menumbuhkan rasa dihargai pada lawan bicara. Tak jarang, mereka akhirnya merasa benar-benar "pulang" ketika ada seseorang yang mau menjadi telinga tanpa syarat, di tengah riuhnya hari raya.

4. Memulai Maaf dari Dalam Diri

Meminta maaf saat Lebaran seringkali menjadi kebiasaan yang sifatnya ritualistik. Namun, seberapa sering kita benar-benar menata ulang maaf kepada diri sendiri?

Sahabat Fimela, sebelum menyusun kalimat maaf kepada orang lain, cobalah sejenak berdamai dengan diri sendiri. Terima kekurangan, kegagalan, bahkan kekeliruan yang terjadi selama setahun terakhir. Tanpa menerima dan memaafkan diri, proses memaafkan orang lain cenderung hanya berhenti di permukaan.

Ketika kita tidak lagi memendam penilaian keras kepada diri sendiri, hati jauh lebih lapang untuk menerima dan memberi maaf dengan tulus. Lebaran pun menjadi ruang pemulihan, bukan sekadar kewajiban sosial.

5. Menghargai Tradisi Orang Lain tanpa Membandingkan

Setiap keluarga memiliki tradisi Lebaran yang unik—mulai dari menu makanan, cara berpakaian, hingga ritual kecil di rumah. Namun, kadang tanpa sadar, kita kerap membandingkan atau menilai tradisi orang lain dengan standar sendiri.

Sahabat Fimela, tahun ini, kenapa tidak mencoba menghargai tanpa menghakimi? Nikmati ragam tradisi yang ada tanpa tergoda membandingkan mana yang lebih baik, lebih kekinian, atau lebih benar.

Dengan membuka ruang untuk apresiasi tanpa prasangka, kita mengizinkan diri merasakan keberagaman makna Lebaran. Justru di situ letak keindahannya—tidak seragam, tetapi penuh warna yang memperkaya pengalaman batin.

6. Tidak Mengukur Kebahagiaan dari Validasi Eksternal

Sering kali, perbincangan saat Lebaran secara halus berubah menjadi ajang pamer pencapaian—dari pekerjaan, barang, hingga gaya hidup. Tanpa sadar, kita terpancing mengaitkan kebahagiaan dengan apa yang terlihat di permukaan.

Sahabat Fimela, cobalah memutus lingkaran ini. Hadir dengan sikap cukup. Tidak perlu menonjolkan apa yang dimiliki, dan tidak perlu merasa kecil saat melihat apa yang dimiliki orang lain. Fokus pada kehadiran, bukan kepemilikan.

Sikap sederhana ini membuat Lebaran terasa lebih ringan. Kita merayakan apa adanya, bukan apa yang harusnya ada. Di situlah kebahagiaan tumbuh—alami dan tidak dibuat-buat.

7. Menjadikan Lebaran sebagai Titik Awal, Bukan Akhir

Banyak yang menganggap Lebaran sebagai garis akhir dari perjalanan Ramadan—sebuah penutup dari rangkaian ibadah dan silaturahmi. Padahal, Sahabat Fimela, Lebaran bisa jadi justru titik awal untuk meneruskan kebiasaan baik.

Sikap sederhana yang bisa diterapkan: memperlakukan Lebaran bukan sebagai perayaan puncak, melainkan sebagai awal komitmen baru. Misalnya, memperpanjang silaturahmi di luar momen ini, menjaga konsistensi kebaikan kecil, atau melanjutkan refleksi diri tanpa menunggu bulan suci berikutnya.

Dengan menggeser sudut pandang ini, Lebaran menjadi lebih dari sekadar satu hari penuh euforia. Ia berubah menjadi pintu yang membuka jalan panjang menuju versi diri yang lebih baik, tidak berhenti hanya saat gema takbir selesai.

Sahabat Fimela, makna Lebaran tahun ini tidak harus diciptakan dari hal besar. Justru ketika kita memberi ruang bagi sikap-sikap sederhana, makna itu tumbuh diam-diam, mengisi kekosongan yang selama ini tidak terisi oleh formalitas.

Tidak perlu menunggu momen sempurna, tidak perlu menciptakan kesan yang megah. Biarkan kebahagiaan hadir dari ketulusan-ketulusan kecil yang kita lakukan tanpa pamrih. Sebab, sejatinya, Lebaran yang paling membekas bukan yang paling ramai, tetapi yang paling jujur di hati.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Endah Wijayanti
Read Entire Article
Lifestyle | Fashion|