Istiqomah dalam Perspektif Gus Baha, Penjelasan Lengkap dan Inspiratif

3 days ago 4

Fimela.com, Jakarta Istiqomah sering kali dipahami secara sempit sebagai kebiasaan mempertahankan rutinitas kebaikan yang sudah terbentuk. Misalnya, seseorang yang terbiasa melakukan wiridan setelah sholat mungkin merasa harus menolak kegiatan lain yang waktunya bersamaan demi menjaga konsistensi tersebut. Namun, pandangan ini bisa jadi kurang tepat jika tidak mempertimbangkan konteks dan situasi yang lebih luas.

KH. Ahmad Bahauddin Nursalim, atau yang lebih dikenal sebagai Gus Baha, memberikan perspektif yang lebih mendalam tentang makna istiqomah. Menurutnya, istiqomah tidak hanya tentang mempertahankan kebiasaan, tetapi juga tentang kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi yang ada tanpa meninggalkan nilai-nilai kebaikan. Gus Baha menekankan bahwa istiqomah seharusnya dipahami sebagai komitmen untuk terus berbuat baik dengan cara yang lebih fleksibel.

Artinya, seseorang yang istiqomah tetap membuka diri terhadap kesempatan untuk melakukan kebaikan lainnya, meskipun itu berarti harus keluar dari rutinitas yang biasa dilakukan. Dengan demikian, istiqomah bukan hanya soal konsistensi dalam rutinitas, tetapi juga tentang keikhlasan dan responsivitas terhadap peluang untuk berkontribusi dalam kegiatan positif lainnya, seperti yang dilansir Merdeka.com dari berbagai sumber (13/11).

Memberi salam atau menyapa seseorang yang dikenal adalah bagian penting dari sikap kesopanan dan niat baik. Semua masyarakat di dunia memiliki beberapa bentuk sapaan dan cara memberi salam saat tatap muka yang baik dan sopan.

Istiqomah Menurut Imam Nawawi

Gus Baha memberikan penjelasan yang jelas mengenai konsep istiqomah berdasarkan pandangan Imam Nawawi. Istiqomah, menurut Imam Nawawi, berkaitan erat dengan keputusan yang diambil berdasarkan ilmu, bukan hanya mengikuti dorongan nafsu. Dalam kitab Al-Majmu', Imam Nawawi menyatakan bahwa rumus paling sederhana untuk memahami istiqomah adalah melalui keputusan yang berlandaskan ilmu.

Gus Baha menekankan bahwa keputusan yang didorong oleh nafsu cenderung membuat seseorang sulit untuk tetap istiqomah. Untuk lebih memperjelas, ia memberikan contoh yang diuraikan oleh Imam Nawawi. Misalnya, ketika seseorang telah terbiasa melakukan kebaikan tertentu, seperti membaca Yasin setelah shalat Maghrib, dan tiba-tiba ada kebaikan lain yang lebih mendesak, maka prioritas terbaik adalah meninggalkan kebaikan yang biasa dilakukan demi kebaikan yang lebih mendesak.

Contoh Praktis Istiqomah

Imam Nawawi memberikan ilustrasi yang konkret. Jika seseorang rutin membaca Yasin setelah shalat Maghrib, tetapi kemudian harus membatalkan kegiatan tersebut karena ada anggota keluarga yang sakit dan perlu dibawa ke rumah sakit, tindakan tersebut tidak mengganggu prinsip istiqomah. Dalam hal ini, membaca Yasin tetap dianggap sebagai kebaikan, dan memilih untuk meninggalkannya demi kebaikan lain juga merupakan bentuk istiqomah.

Dengan demikian, pemahaman istiqomah tidak hanya sekadar melakukan kebaikan secara rutin, tetapi juga melibatkan kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat berdasarkan situasi yang dihadapi. Istiqomah adalah tentang memilih kebaikan yang paling relevan dan mendesak dalam konteks tertentu.

Istiqomah Versi Gus Baha

Istiqamah, dalam pandangan Gus Baha, adalah konsep yang sering disalahpahami ketika dihadapkan pada dilema antara ibadah pribadi dan tanggung jawab sosial. Beliau menekankan bahwa istiqamah tidak boleh diartikan secara sempit sebagai konsistensi dalam satu bentuk kebaikan saja, tetapi harus mencakup kesadaran akan kebutuhan sosial dan kemanusiaan di sekitar kita.

Misalnya, ketika seseorang tengah beribadah atau melakukan kebaikan yang sudah menjadi rutinitasnya, dan tiba-tiba muncul situasi darurat yang memerlukan bantuannya, seperti ada anggota keluarga yang sakit, maka memilih untuk tetap pada rutinitas tersebut tanpa merespons kebutuhan mendesak tersebut adalah bentuk kesalahpahaman dalam memahami istiqamah.

Gus Baha menyoroti bahwa sikap seperti ini tidak mencerminkan pemahaman yang mendalam dari seorang ahli ilmu, melainkan lebih menunjukkan egoisme yang mengabaikan esensi dari istiqamah itu sendiri. Istiqamah yang benar, menurut beliau, haruslah seimbang antara ibadah pribadi dan tanggung jawab sosial, sehingga tidak menjadikan agama tampak kaku dan tidak peka terhadap situasi sosial.

Dengan memahami istiqamah dalam konteks yang tepat, kita dapat mengembangkan kebaikan yang berkelanjutan dan saling mendukung, yang mencakup berbagai dimensi kehidupan, termasuk kepedulian terhadap sesama.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Read Entire Article
Lifestyle | Fashion|