Fimela.com, Jakarta Setiap tahunnya Hari Kartini menjadi momen untuk kembali mengingatkan kita, akan panjangnya perjuangan beliau untuk kaum perempuan Indonesia. Semangat dan pola pikir Kartini yang begitu memukau dan masih relevan hingga hari ini. Masih banyak tugas perjuangan yang harus kita lanjutkan untuk membuat kehidupan para perempuan di Indonesia menjadi lebih baik lagi. Nah, dalam rangka memperingati Hari Kartini tahun ini, Titimangsa bersama Bakti Budaya Djarum Foundation tak ketinggalan untuk kembali mengingatkan perjuangan Kartini dengan mengajak para seniman multigenerasi bersatu dalam sebuah pertunjukan sastra dan suara bertajuk Terbitlah Terang: Pembacaan Surat dan Gagasan Kartini.
Pementasan yang bertempat di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, hari ini dikemas begitu apik. Pementasa ini juga merupakan sebuah penghormatan terhadap pemikiran, perjuangan, dan jiwa seorang Raden Ajeng Kartini, sosok yang hingga hari ini masih menjadi nyala api bagi perempuan dan bangsa Indonesia. Para hadirin dibawa ke dalam sebuah dimensi waktu, merenung, dan terpukau bersama. Betapa Kartini yang saat itu masih sangat muda memiliki pemikiran yang sungguh matang dan maju.
“Pementasan Terbitlah Terang: Pembacaan Surat dan Gagasan Kartini ini tidak sekadar mengenang sosok Raden Ajeng Kartini sebagai pahlawan emansipasi, tetapi juga sebagai perempuan visioner yang meletakkan dasar kesadaran diri, kesetaraan, dan keberanian berpikir. Melalui surat-suratnya yang jujur dan menggugah, Kartini menunjukkan bahwa perubahan besar selalu berawal dari keberanian untuk merasakan, merenung, dan menyuarakan kebenaran yang diyakini. Ini menjadi momen penting bagi generasi muda untuk merefleksikan makna perjuangan dan melanjutkan semangat Kartini di masa sekarang. Dengan pendidikan, keberanian, dan empati, kita bisa menciptakan dunia yang lebih adil, setara, dan manusiawi. Karena semangat Kartini bukan sekadar milik masa lalu, ia adalah cahaya yang menuntun langkah kita hari ini dan di masa depan,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
Surat-Surat Asli Kartini yang Hidup Kembali
Pementasan yang singkat namun kaya akan makna ini, dikemas dengan format pembacaan secara monolog, surat-surat asli Kartini dihidupkan kembali melalui suara para seniman ternama Indonesia: Christine Hakim, Ratna Riantiarno, Reza Rahadian, Marsha Timothy, Maudy Ayunda, Lutesha, Cinta Laura, Chelsea Islan, Happy Salma, dan Bagus Ade Putra. Dengan arahan Sri Qadariatin sebagai sutradara, para seniman multigenerasi ini tidak hanya membacakan, tetapi menghidupkan isi hati Kartini yang ditulis lebih dari seabad silam, namun tetap terasa begitu relevan hari ini.
"Hari ini, kita tidak hanya mengenang Kartini sebagai tokoh sejarah, tetapi merayakannya sebagai refleksi bagi setiap manusia—perempuan maupun laki-laki—yang terus berjuang memahami pikirannya, meresapi perasaannya, dan mengekspresikan keduanya secara jujur. Menjadi manusia berarti merdeka dalam berpikir dan utuh dalam merasa. Membaca surat-surat Kartini bukan sekadar menyelami sejarah, tetapi menapaki ruang batin seorang perempuan yang berani bermimpi dan berpikir melampaui batas-batas zamannya. Merayakan Kartini adalah merayakan keberanian untuk mengenal diri dan menyuarakan nurani. Kartini telah membuktikan bahwa suara seorang perempuan, ketika jujur pada pikirannya dan setia pada hatinya, memiliki kekuatan untuk mengubah arah sejarah," ujar Happy Salma, Pendiri Titimangsa.
Kegundahan dan Kebimbangan Kartini
Surat-surat yang dibacakan ini diambil dari buku Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer, terbitan Lentera Dipantara 2006 dan buku Kartini: Kumpulan Surat-surat 1899-1904 karya Wardinam Djoyonegoro, Jilid 1, terbitan Pustaka Obor 2024. Kartini menulis surat pertamanya kepada salah satu sahabat penanya, Estelle (Stella) Zeehandelaar, seorang aktivis feminisme di Belanda. Surat tersebut menjadi titik awal dari rangkaian korespondensi yang kemudian dikenal luas sebagai bentuk pemikiran awal perempuan Indonesia tentang emansipasi, pendidikan, dan keadilan sosial. Melalui surat-surat ini pula, Kartini tak hanya memperlihatkan kecerdasan dan kepekaan sosialnya, tetapi juga keberanian untuk menggugat struktur sosial yang timpang dan membungkam suara perempuan. Surat kepada Stella adalah cermin dari pertemuan lintas budaya yang menghidupkan solidaritas, serta semangat zaman yang tak terbendung.
Kegundahan dan kebimbangan Kartini juga tersampaikan dengan jujur dan mendalam melalui korespondensinya dengan Tuan dan Nyonya Abendanon, pasangan yang menjadi pendukung besar perjuangan Kartini. Melalui surat-surat ini, Kartini mengungkapkan kerinduannya akan kebebasan, hasratnya untuk belajar, dan harapannya terhadap masa depan perempuan di tanah airnya.
Panggil aku Kartini
Kalimat itu menjadi nyawa utama dari pertunjukan ini, membuka ruang perenungan atas isi-isi surat yang penuh keberanian, kesedihan, cinta, amarah, dan harapan. Pembacaan dilakukan dengan pendekatan yang beragam untuk menghidupkan kembali isi hati dan pikiran Raden Ajeng Kartini lewat surat-suratnya yang abadi. Dibuka dengan prolog Ratna Riantiarno untuk mengantarkan pementasan pembacaan Surat-surat Kartini dan gagasannya dengan melibatkan peristiwa penyusunan surat-surat Kartini secara historis. Lalu dilanjutkan dengan aksi peran Christine Hakim dan Marsha Timothy, menyuarakan gagasan Kartini tentang pentingnya kesadaran akan kemajuan pendidikan. Chelsea Islan, Cinta Laura, Luthesa, dan Bagus Ade Saputra, mengangkat pemikiran Kartini mengenai norma dan nilai sosial yang dibentuk oleh bias gender, serta fragmen tentang kebebasan dan harga diri perempuan. Sementara itu, Reza Rahadian dan Maudy Ayunda menghadirkan kritik Kartini terhadap kebijakan pemerintah yang berdampak pada perekonomian rakyat dan isu lingkungan. Kemudian Epilog pementasan “Terbitlah Terang” ditutup oleh narasi Happy Salma dengan begitu reflektif dan kontemporer.
Melalui pementasan ini, Kartini bukan sekadar tokoh sejarah—ia hadir sebagai suara yang relevan dan menyala untuk menjawab tantangan zaman sekarang. “Pementasan ini tidak sekadar menjadi bentuk penghormatan terhadap R.A. Kartini sebagai tokoh emansipasi perempuan, tetapi juga sebagai ruang reflektif bagi publik untuk menelusuri pemikiran dan keberanian perempuan dalam melampaui batas-batas sosial dan budaya zamannya. Melalui pembacaan surat-surat Kartini, penonton diajak menyelami dimensi personal seorang perempuan yang visioner, yang menulis bukan hanya sebagai bentuk ekspresi diri, tetapi juga sebagai upaya membangun kesadaran kolektif. Kartini tidak hanya meninggalkan warisan narasi, tetapi juga semangat untuk berpikir merdeka, merasa utuh, dan bersuara jujur,” ujar Sri Qadariatin, Sutradara pementasan ini.
Pameran SUNTING: Jejak Perempuan Indonesia Penggerak Perubahan
Pementasan Terbitlah Terang: Pembacaan Surat dan Gagasan Kartini ini juga merupakan bagian dari pembukaan pameran SUNTING: Jejak Perempuan Indonesia Penggerak Perubahan. Pameran SUNTING merupakan penghormatan atas peran perempuan Indonesia dalam sejarah, dengan Sunting sebagai simbol kekuatan, martabat, dan perubahan sosial. Dari penerbitan Sunting Melayu oleh Rohana Kudus hingga perjuangan R.A. Kartini, perempuan telah aktif menyuarakan kesetaraan dan membentuk arah bangsa melalui berbagai bidang. Pameran ini mengajak refleksi atas kontribusi perempuan dalam membangun peradaban serta mendorong partisipasi kita dalam perjuangan menuju masa depan yang lebih setara. Pameran ini akan berlangsung pada 22 April - 31 Juli 2025 di Museum Nasional Indonesia.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.