Review Buku Novel Anak Bajang Menggiring Angin

22 hours ago 11

Judul: Anak Bajang Menggiring Angin

Penulis: Sindhunata

Ilustrasi isi: Hajar Santoso Lukisan

Sampul: Ong Hari Wahyu

Desain sampul: Agustinus Purwanta

Setting: Fitri Yuniar

Cetakan kelimabelas, Agustus 2024

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

***

Manusia memang terlalu percaya pada kesombongannya, lupa bahwa kesombongannya yang perkasa hanyalah setitik air di lautan kelemahannya Tanpa bantuan yang ilahi, kau pasti tenggelam lagi dalam lautan kelemahanmu itu. (hlm. 28)

"Barata, dunia ini bergerak menurut hukum ilahi. Dan ketahuilah bahwa hukum ilahi itu adalah cinta. Bahkan matahari, bulan, bintang, dan bumi pun takkan dapat menyembunyikan diri dari hukum ilahi itu. Maka matahari selalu bersinar, bulan senantiasa terang, bintang tak habis-habisnya gemilang, dan bumi sendiri selalu segar, meski mereka enggan dengan kejahatan makhluk-makhluknya. Mereka digerakkan oleh cinta, meski dunia ini ditindih dengan kepedihan karena permusuhan." (hlm. 125)

"Kejahatan itu tidak berasal dari luar, sehingga kau tidak bisa mempersalahkan dirimu jika kau berbuat salah, seakan-akan kesalahan itu bukan tanggung jawabmu. Kejahatan itu berasal dari dalam, artinya kau tidak mau menjadikan dirimu sempurna. Kebaikan itu juga bukan semata-mata anugerah dari luar, kebaikan itu berasal dari dalam keinginanmu sendiri untuk makin menjadi sempurna. Jadi inilah makna dan perintah dirimu diciptakan sebagai manusia. Kau tidak diciptakan dalam keadaan baik atau jelek, tapi kau diciptakan dalam keadaan yang masih harus meraih kesempurnaan. Dalam kesempurnaan itu baik dan jelek adalah milikmu sendiri, bukan pemberian dunia luar. Maka triloka adalah dasar pemahamanmu akan keagungan seorang manusia," kata Dewa Kangka, dewa segala makhluk yang beterbangan di langit itu. (hlm. 182)

Hidup ini seakan mengantar orang ke tempat yang baru, padahal ia nengembalikan orang pada asalnya yang semula. Perjalanan hidup ini sebenarnya sia-sia. Andaikan aku tetap pada awal itu, barangkali aku takkan mati, atau andaikan aku mesti mati, aku tak takut untuk menghadapinya, karena aku belum terseret dosa ke mana-mana. (hlm. 245)

Tiada yang lebih besar daripada cinta, karena hanya cinta yang dapat mengangkat hati manusia untuk membayangkan keindahan yang tak terciptakan oleh manusia sendiri. (hlm. 474)

***

Pertempuran besar dalam kisah ini terjadi ketika Rama, Sinta, dan Laksmana—keturunan Ayodya—harus menghadapi keturunan Wisrawa, terutama Rahwana.

Sinta diculik dan dibawa ke Alengka, memicu perang yang mempertemukan manusia dengan pasukan raksasa. Beruntung, Rama mendapat bantuan dari Anoman, Sugriwa, dan pasukan kera. Akan tetapi, konflik dalam cerita ini tak hanya seputar perang fisik, melainkan juga pergolakan batin yang mendalam, khususnya dalam hubungan Rama dan Sinta.

Hubungan Rama dan Sinta menjadi potret cinta yang diuji oleh keraguan dan luka batin. Meskipun Sinta tetap setia dan menjaga cintanya, Rama justru mempertanyakan kesuciannya.

Ujian tersebut terasa menyakitkan ketika Anoman diminta untuk menguji kesucian Sinta dengan memberikan cincin titipan Rama. Adegan ini memperlihatkan bagaimana cinta bisa dilukai oleh kecurigaan dan keraguan yang berlebihan.

Novel ini menyajikan lebih dari sekadar versi lain dari Ramayana. Dengan sentuhan sastra yang khas dan imajinasi simbolik yang kuat, kisah klasik ini dihidupkan kembali menjadi cerita yang penuh makna.

Kisah pewayangan diceritakan kembali dengan bahasa yang puitis dan dalam, menjadikannya bukan hanya narasi epik, tetapi juga refleksi kehidupan manusia.

Apa yang terjadi dalam cerita ini kadang terdengar tidak masuk akal, bahkan aneh dari sudut pandang kehidupan sehari-hari. Namun, justru di situlah kekuatan buku ini, Sahabat Fimela. Hal-hal yang tampak absurd dirajut menjadi kisah yang memiliki daya magis tersendiri.

Melalui dialog Laksmana dan Rama, kita pun diajak memahami cinta dari sisi yang lebih filosofis.

Cinta tidak selalu harus memiliki. Kadang, cinta justru tumbuh dan mekar dalam perpisahan, dalam pengorbanan, dan dalam penderitaan. Laksmana meyakinkan bahwa cinta sejati adalah ketika seseorang mampu membiarkan yang dicintainya berkembang dan menemukan jalannya sendiri.

Novel ini juga mengajak kita merenungi asal-usul cerita pewayangan yang selama ini hidup di tengah budaya kita.

Melalui narasi yang mengalir, ada banyak pertanyaan penting yang diselipkan: dari mana sebenarnya cerita Ramayana dan Mahabarata berasal? Siapa penciptanya? Dan bagaimana kisah tersebut begitu kuat melekat dalam tradisi kita? Pertanyaan-pertanyaan ini mendorong pembaca untuk menggali lebih dalam tentang akar budaya nusantara yang begitu kaya namun sering diabaikan.

Judul novel ini, Anak Bajang Menggiring Angin, juga menjadi misteri tersendiri. Apa sebenarnya makna dari “anak bajang”? Apa hubungan antara tokoh utama dan angin yang digiringnya? Jawaban atas pertanyaan ini tidak diberikan secara langsung, melainkan dibiarkan mengendap dalam benak pembaca. Inilah yang membuat novel ini begitu istimewa, yang mengajak berpikir dan memaknai lebih dalam arti kehidupan, cinta, dan jati diri manusia.

Membaca Anak Bajang Menggiring Angin bukan hanya seperti menelusuri ulang kisah klasik Ramayana, melainkan juga sebuah perjalanan batin yang menyingkap lapisan-lapisan makna kehidupan.

Dalam kisah ini, tokoh-tokoh tidak hanya tampil sebagai individu dengan perannya masing-masing, tetapi juga sebagai simbol dari konflik batin manusia. Anoman menjadi lambang kesucian dan kerinduan manusia terhadap kebenaran yang utuh, ia adalah perwujudan dari jiwa yang murni, tak pernah lelah mencari makna dan kesempurnaan dalam pengabdian.

Sebaliknya, Rahwana menjadi personifikasi dari nafsu yang tak terkendali, obsesi akan kekuasaan, dan kehendak untuk menguasai dunia dengan cara yang menggoda namun destruktif. Pertarungan keduanya mewakili pertarungan dalam diri manusia: antara jiwa yang ingin menyatu dengan cahaya dan ego yang ingin menaklukkan dunia dengan gelap.

Novel ini menyimpan nilai filosofis yang sangat mendalam, di mana cinta, pengorbanan, kekuasaan, dan penderitaan saling berdialog melalui simbol-simbol budaya Jawa yang disampaikan secara puitis dan kontemplatif.

Dalam setiap peristiwa, kita seakan dituntun untuk menyelami hakikat kehidupan: bahwa dunia ini memang bukan tempat yang sempurna, tapi justru karena itulah manusia diberi ruang untuk bertumbuh, merenung, dan berjuang.

Ada kekuatan besar dalam penderitaan Sinta, ada pelajaran tentang harga diri dalam kegagahan Rama, dan ada harapan yang begitu mulia dalam ketulusan Anoman. Kisah wayang bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga cermin jiwa manusia yang terus mencari cahaya dan harapan di tengah perubahan zaman.

Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata bukan sekadar novel yang mengisahkan ulang cerita Ramayana, tetapi sebuah karya sastra yang menafsirkan ulang mitologi dengan kedalaman makna dan keindahan bahasa yang memikat.

Melalui alur cerita yang puitis dan penuh simbolisme, pembaca diajak menyelami lapisan-lapisan kehidupan manusia: cinta dan pengkhianatan, kesetiaan dan keraguan, kekuasaan dan penderitaan.

Kisah ini bukan hanya menghidupkan kembali tokoh-tokoh legendaris seperti Rama, Sinta, Rahwana, dan Anoman, tetapi juga menggugah kesadaran pembaca akan nilai-nilai kemanusiaan yang sering terlupakan dalam kehidupan modern. Bagi Sahabat Fimela yang menyukai kisah penuh makna dan bahasa yang indah, Anak Bajang Menggiring Angin bisa menjadi salah satu novel yang tepat untuk jadi rekomendasi bacaan pilihan, sebuah karya sastra yang tak hanya menggetarkan jiwa, tapi juga memperkaya cara kita memandang kehidupan.

Read Entire Article
Lifestyle | Fashion|