7 Sikap agar Tidak Gampang Tertekan di Usia Sekarang

13 hours ago 5

Fimela.com, Jakarta Tekanan hidup tidak memilih usia. Di titik tertentu, saat kita merasa seharusnya hidup sudah stabil, justru muncul kegelisahan yang sulit dijelaskan. Rasanya seperti berada di antara dua dunia: satu kaki ingin tenang, tapi satu kaki lain masih dipaksa berlari. Beban pekerjaan, tekanan sosial, standar pencapaian, dan konflik personal berpadu jadi satu, membuat kita harus terus kuat meski napas terasa pendek.

Namun di balik semua itu, ada satu hal yang jarang disadari: cara kita memandang hidup berpengaruh besar terhadap ketahanan mental. Bukan tentang siapa yang paling kuat menahan tangis, tetapi siapa yang tahu kapan harus melepaskan dan melanjutkan. Artikel ini bukan sekadar ajakan untuk tetap positif, tapi peta sikap yang bisa dijadikan pegangan agar Sahabat Fimela tidak mudah tertekan di usia sekarang, tanpa harus mengubah dunia, cukup mengubah cara kita berdiri di atasnya.

1. Membebaskan Diri dari Skor Sosial yang Tak Pernah Selesai

Kita hidup di zaman di mana angka dan pencapaian seolah jadi barometer eksistensi. Sayangnya, banyak dari "skor sosial" itu hanyalah ilusi yang dikemas rapi. Jumlah pengikut, gelar, aset, pencapaian—semua tampak nyata, tapi tidak selalu berarti.

Sahabat Fimela, tekanan muncul saat kita mulai merasa harus memenuhi harapan yang tidak datang dari dalam diri. Padahal, hidup bukan tentang menang dalam kompetisi diam-diam yang dibuat orang lain. Saat kita sadar bahwa tidak semua pencapaian harus diumumkan dan tidak semua kesuksesan harus dikagumi, kita mulai menyelamatkan ketenangan kita sendiri.

Memilih keluar dari permainan membandingkan hidup adalah keberanian tersendiri. Fokus pada kualitas hubungan, pertumbuhan pribadi, dan kebermaknaan kecil dalam keseharian jauh lebih memberi rasa damai dibanding validasi instan.

2. Menjadikan Kegagalan sebagai Titik Baru untuk Tumbuh

Tidak semua kegagalan datang untuk menyakitkan. Ada yang datang untuk mengajar. Bahkan, banyak hal dalam hidup justru terasa lebih masuk akal setelah kita gagal. Sayangnya, tekanan kerap datang dari ketakutan gagal yang dibentuk oleh narasi kesempurnaan.

Sahabat Fimela, saat kita mulai berdamai dengan ketidaksempurnaan, tekanan mulai mengecil. Gagal bukan akhir, tapi titik temu antara usaha dan pelajaran. Menyikapi kegagalan dengan sikap belajar, bukan menyalahkan diri, membuat kita lebih kuat dalam menghadapi tantangan baru.

Kegagalan tidak butuh pembelaan. Ia hanya perlu disambut dengan kepala dingin dan hati terbuka. Dan di situlah mental kita ditempa: bukan pada keberhasilan besar, tapi pada cara kita bangkit dalam diam.

3. Mengganti Ambisi Buta dengan Ritme yang Seimbang

Ambisi yang sehat mendorong, tetapi ambisi yang buta menguras. Sering kali tekanan muncul bukan karena kita tidak mampu, melainkan karena kita memaksa terlalu cepat, terlalu sering. Padahal, hidup tidak harus dikejar dengan napas terengah-engah.

Sahabat Fimela, tidak ada keharusan untuk terus bergerak hanya karena orang lain tampak berlari. Kita berhak menentukan ritme sendiri. Mengatur ulang prioritas, memberi ruang untuk jeda, dan mengakui bahwa tidak semua hal harus dikejar adalah bentuk keberanian emosional yang sering dilupakan.

Menikmati proses tanpa merasa bersalah adalah bentuk kematangan yang seharusnya dirayakan. Bukan tentang siapa yang paling dulu sampai, tapi siapa yang masih bisa tertawa di tengah perjalanan.

4. Tidak Menggantungkan Ketenteraman pada Persetujuan Orang Lain

Persetujuan adalah candu yang halus. Ia tampak wajar, tapi menyedot habis identitas kita. Semakin kita menggantungkan harga diri pada penilaian orang lain, semakin mudah kita tertekan. Ironisnya, validasi eksternal sering kali lebih bising daripada suara hati sendiri.

Sahabat Fimela, berdiri teguh pada nilai pribadi adalah jalan yang tidak selalu disukai orang, tetapi itulah jalan yang membuat kita utuh. Tidak semua orang harus paham keputusan kita, dan itu tidak apa-apa.

Saat kita tahu apa yang membuat kita tenang, maka penilaian orang lain tak lagi punya kekuatan besar untuk mengguncang. Bukan berarti jadi keras kepala, tapi tahu batas di mana suara hati perlu didahulukan.

5. Merawat Kesederhanaan sebagai Sumber Kelegaan Batin

Kesederhanaan bukan tentang kekurangan, tapi tentang kemerdekaan dari keharusan tampil. Banyak tekanan muncul karena kita merasa harus lebih, harus lebih baik, harus lebih kaya, lebih keren. Padahal, di balik kesederhanaan, ada kebebasan yang tidak dimiliki oleh mereka yang terus mengejar impresi.

Sahabat Fimela, hidup tidak harus mewah untuk terasa megah. Merayakan hal kecil, mensyukuri yang cukup, dan menikmati apa yang kita punya hari ini—itulah sikap yang membangun kekuatan batin.

Kesederhanaan juga mempermudah kita memilah apa yang penting. Saat hidup tidak terlalu ramai dengan ambisi dan gengsi, ruang untuk tenang jadi lebih luas. Dan di sanalah tekanan perlahan kehilangan cengkeramannya.

6. Melatih Pikiran untuk Tidak Reaktif pada Segala Hal

Reaktif adalah kebiasaan yang menguras energi. Terkadang, kita terlalu cepat terpancing, terlalu cepat tersinggung, terlalu cepat bereaksi. Semua hal terasa personal, padahal sebagian besar tidak sedang menyerang kita.

Sahabat Fimela, melatih diri untuk responsif, bukan reaktif, bisa menjadi kunci ketenangan yang tak tergoyahkan. Tidak semua hal harus dibalas. Tidak semua komentar harus ditanggapi. Tidak semua situasi harus diselesaikan hari ini juga.

Belajar menunda reaksi adalah bentuk kendali yang elegan. Kita jadi punya ruang berpikir, menimbang, dan memutuskan dengan lebih jernih. Dan ketika pikiran tidak terbakar emosi setiap waktu, tekanan pun kehilangan bahan bakarnya.

7. Membangun Ruang Aman di Dalam Diri Sendiri

Hidup tidak selalu memberi tempat yang nyaman. Maka dari itu, kita perlu membangunnya sendiri, dari dalam. Ruang aman bukan tempat fisik, tapi cara kita memperlakukan diri sendiri.

Sahabat Fimela, tekanan mudah masuk ketika kita sendiri adalah musuh bagi diri sendiri. Saat pikiran dipenuhi kritik, tuntutan, dan rasa bersalah, maka tak ada tempat untuk beristirahat. Sebaliknya, saat kita memberi diri kasih yang wajar, maaf yang tulus, dan pemahaman yang luas, tekanan pun kehilangan tempatnya.

Jadikan diri sendiri tempat kembali. Tidak sempurna, tidak selalu kuat, tapi cukup ramah untuk ditinggali. Karena sejauh apa pun kita pergi, ketenangan selalu dimulai dari rumah yang kita bangun di dalam diri.

Usia boleh bertambah, tekanan boleh datang silih berganti, tetapi sikap kita bisa menjadi pelindung yang paling andal. Tidak perlu jadi orang paling tangguh untuk bisa bertahan; cukup jadi orang yang tahu bagaimana berdamai dengan dirinya sendiri.

Semoga tujuh sikap tadi bisa menjadi bekal agar Sahabat Fimela tidak mudah tertekan dan bisa menjalani hidup dengan lebih ringan, lebih bermakna, dan tentu saja—lebih bahagia.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Endah Wijayanti
Read Entire Article
Lifestyle | Fashion|