Fimela.com, Jakarta Chanel tak lagi hanya identik dengan kemewahan abadi dan haute couture yang elegan. Kini, rumah mode asal Prancis ini juga mulai mencetak sejarah baru dalam dunia fashion berkelanjutan.
Lewat peluncuran Nevold, Chanel resmi memasuki arena circular fashion, langkah signifikan yang merefleksikan kesadaran baru akan urgensi keberlanjutan, bahkan dalam lanskap luxury fashion yang dulu kerap dianggap eksklusif dari tanggung jawab lingkungan.
Kenapa Chanel Meluncurkan Nevold?
Dalam wawancaranya bersama Vogue Business, Bruno Pavlovsky, President of Fashion di Chanel, mengungkap bahwa pertanyaan besar yang memicu inisiatif ini sederhana tapi penting: Apa yang terjadi pada bahan-bahan yang tak masuk ke produk akhir? Di masa lalu, Chanel tidak pernah menghancurkan produk tak terjual, tapi juga belum memiliki sistem untuk benar-benar mengelola potensi bahan sisa. Nevold hadir sebagai jawaban.
Nama Nevold merupakan akronim dari “never old,” menegaskan semangat untuk menciptakan material masa depan dari sisa bahan yang seharusnya berumur pendek. Platform ini bukan sekadar laboratorium internal, tapi juga terbuka untuk kolaborasi lintas industri, dari pabrik benang, pendaur ulang material, hingga merek olahraga dan perhotelan.
Cara Kerja Nevold: Fokus Pada Bahan Sisa Produksi
Berbeda dari inisiatif daur ulang yang berbasis konsumen, Nevold tidak mengumpulkan pakaian bekas dari pelanggan. Fokus utama Nevold adalah mendaur ulang limbah internal Chanel, baik itu sisa bahan dari proses pemotongan, bahan tak terpakai dalam koleksi, maupun material dari produk yang tidak jadi diluncurkan.
Platform ini lalu mengolah material-material tersebut untuk menjadi bahan baru dengan kualitas tinggi, yang kemudian bisa digunakan kembali dalam lini produk Chanel, termasuk tas, sepatu, dan kain tweed khas mereka. Misalnya, bagian struktural dari tas kini dibuat dari kulit daur ulang, menggantikan bagian plastik. Chanel juga telah memperkenalkan tweed berkelanjutan yang memadukan serat baru dan daur ulang.
Lewat pendekatan ini, Chanel tak hanya mengurangi limbah produksi, tapi juga menciptakan sistem tertutup (closed-loop system) yang lebih efisien dan beretika dalam jangka panjang.
Di Balik Sistem: Apa yang Chanel Bangun?
Chanel tidak setengah hati dalam mengembangkan Nevold. Platform ini menyasar lima bahan utama dalam lini produksinya yakni katun, wol, sutra, kasmir, dan kulit. Bahan-bahan ini tidak hanya paling sering digunakan di lini ready-to-wear dan haute couture Chanel, tapi juga makin sulit diperoleh dalam kualitas tinggi akibat krisis iklim dan tantangan jejak rantai pasok.
Untuk itu, Chanel menggelontorkan investasi besar, antara 50 hingga 80 juta euro (sekitar Rp1,3 triliun), demi membangun sistem yang tak hanya sustainable, tapi juga berstandar tinggi. Sophie Brocard, mantan CEO Patou, ditunjuk sebagai kepala Nevold.
Yang menarik, bagian-bagian struktural dari tas dan sepatu Chanel kini mulai dibuat dari kulit daur ulang, menggantikan elemen berbahan plastik sebelumnya. Sekitar 30% tas dan 50% sepatu Chanel saat ini sudah mengandung komponen daur ulang. Bahkan, tumit dari slingback ikonis Chanel kini dibuat dari bahan sisa yang diolah kembali.
“Dalam beberapa tahun ke depan, kami bisa benar-benar lepas dari plastik di sepatu dan tas kami. Itu adalah tujuan akhirnya,” ujar Pavlovsky.
Mengapa Konsumen dan Brand Harus Peduli?
Circular fashion bukan lagi sekadar tren, tapi kebutuhan. Seiring meningkatnya kesadaran konsumen terhadap dampak lingkungan, brand seperti Chanel sadar bahwa kemewahan tak akan lagi relevan jika tidak dibarengi tanggung jawab sosial.
Pergeseran ini menunjukkan bahwa sustainability tidak harus mengorbankan estetika, melainkan bisa menjadi nilai tambah. Saat tas Chanel tetap tampil memukau meski dibuat dari kulit daur ulang, maka publik tak lagi melihat ramah lingkungan sebagai kompromi gaya.
Apalagi, Chanel kini berada di bawah arah baru. Matthieu Blazy, yang sebelumnya dikenal lewat inovasi sustainability di Bottega Veneta (seperti Certificate of Craft dan Reserve Leather Series), dipercaya memimpin Chanel ke babak selanjutnya. Fokus Blazy pada desain yang timeless dan daya tahan tinggi selaras dengan misi Nevold.
Tokoh Publik yang Menjadi Teladan
Langkah Chanel ini juga merefleksikan perubahan budaya di kalangan tokoh publik. Kate Middleton kerap mendapat pujian karena memilih mengenakan ulang busana yang sama di berbagai acara kenegaraan. Emma Watson, di sisi lain, menjadi ikon mode etis lewat kerja samanya dengan brand-brand yang menjunjung keberlanjutan.
Keduanya menunjukkan bahwa fashion berkelanjutan tetap bisa bergaya dan powerful. Dengan langkah Chanel yang kini membuka diri terhadap sistem daur ulang, industri fashion mewah pun mulai menunjukkan bahwa tanggung jawab lingkungan tak hanya milik brand fast fashion atau indie.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.