Doom Spending: Healing Lewat Shopping tapi Ending-nya Pusing

1 week ago 11

Fimela.com, Jakarta Ada rasa lega sesaat saat keranjang belanja di layar penuh dengan barang-barang baru. Klik "checkout", notifikasi pembayaran berhasil, dan seketika hati terasa plong. Hanya saja, beberapa jam kemudian, realita menghantam: saldo terkuras, cicilan menanti, sementara tabungan darurat masih kosong. Fenomena inilah yang kini disebut doom spending.

Doom spending bukan sekadar kebiasaan belanja impulsif. Fenomena ini bisa mencerminkan cerminan dari keresahan generasi muda yang merasa daripada mencemaskan masa depan, lebih baik menikmati masa kini sepuasnya. Daripada menabung untuk hari esok yang tak pasti, sebagian orang memilih mencari "healing instan" lewat pengeluaran hari ini. Ironisnya, justru di situlah jeratan masalah finansial bermula.

Saat Dompet Jadi Alat Pelarian Emosi

Belanja impulsif seringkali lahir bukan dari kebutuhan, melainkan dari dorongan hati yang ingin merasa lebih baik. Tekanan pekerjaan, berita politik yang suram, atau sekadar rasa hampa di malam hari membuat jari-jemari lebih cepat menekan tombol beli sekarang via aplikasi e-commerce. 

Fenomena ini semakin diperkuat oleh media sosial. Influencer yang memamerkan gaya hidup mewah tanpa cela membuat standar kebahagiaan seakan bisa dibeli. Akhirnya banyak yang mencari pelarian dengan berbelanja bukan karena mampu, melainkan karena ingin "terlihat bahagia".

Akan tetapi, pelarian ini ibarat api kecil yang membakar perlahan. Kepuasan instan hanya bertahan sebentar, sementara konsekuensi finansialnya bisa menghantui hingga berbulan-bulan ke depan.

Gen Z di Persimpangan Finansial

Mengutip survei yang dimuat Fortune, hampir separuh Gen Z di Amerika Serikat tidak memiliki dana darurat. Bahkan, 27% di antaranya justru memiliki utang lebih besar daripada tabungan. Fakta ini mengungkap betapa rapuhnya fondasi finansial generasi yang dikenal kritis dan kreatif ini.

Ada rasa pesimis yang kerap muncul: menabung terasa sia-sia di tengah ekonomi yang tak menentu. Harga rumah melambung, inflasi tak terkendali, dan pekerjaan semakin kompetitif. Akibatnya, sebagian Gen Z lebih memilih kepuasan instan dibanding menyiapkan diri menghadapi risiko.

Walaun demikian, bukan berarti harus menyerah sepenuhnya dengan kondisi yang ada. Masih banyak yang menyimpan harapan bisa memiliki rumah, kebebasan finansial, atau setidaknya dana darurat. Hanya saja jalannya terasa makin berat ketika doom spending menjadi kebiasaan yang sulit dihentikan.

Media Sosial dan Ilusi Dukungan Finansial

Ada dinamika unik di balik doom spending. Bagi sebagian Gen Z, komunitas online terasa lebih memahami beban emosional mereka dibanding lingkungan sekitar. Alih-alih mendapat dukungan nyata, mereka menemukan "dukungan finansial" dalam bentuk normalisasi belanja impulsif di TikTok atau Instagram.

Video singkat yang menampilkan shopping haul atau tips "self-reward" membuat konsumsi berlebihan terlihat wajar. "Kalau lelah, belanjalah," seolah menjadi mantra baru yang didengungkan di media sosial.

Padahal, normalisasi inilah yang justru memperparah masalah. Banyak yang akhirnya terjebak dalam lingkaran: merasa cemas, belanja untuk meredakan cemas, lalu semakin cemas karena kondisi finansial memburuk.

Menakar Bahaya Tersembunyi dari Kepuasan Instan

Sekilas, menghabiskan uang untuk sesuatu yang menyenangkan tampak tidak berbahaya. Tapi mari kita lihat dari sisi yang lain dalam: apa yang terjadi ketika krisis tiba? Tanpa tabungan darurat, beban finansial kecil bisa berubah jadi bencana besar.

Data, seperti yang dikutip dari laman Fortune, menunjukkan bahwa 53% Gen Z di AS yang sudah memiliki dana darurat pun hanya menyimpan rata-rata kurang dari $7.000. Angka ini bisa habis dalam sekejap jika ada kejadian darurat seperti kehilangan pekerjaan atau masalah kesehatan.

Hanya saja, inilah sisi gelap dari doom spending. Kepuasan instan seakan memberi solusi atas persoalan yang dihadapi, padahal itu hanya salah satu bentuk distraksi atau pengalihan dari persoalan yang sebenarnya.

Pertimbangkan dengan Matang sebelum Menekan Tombol Checkout

Para pakar keuangan menyarankan sebuah langkah sederhana: berhenti sejenak sebelum melakukan transaksi impulsif.

Tanyakan pada diri sendiri, "Apa yang akan saya rasakan setelah membeli ini? Apakah barang ini memberi nilai jangka panjang, atau sekadar meredakan cemas sesaat?"

Pertimbangan ini seringkali cukup untuk menahan diri. Karena umumnya, bukan barang yang memberi ketenangan, melainkan cara kita mengelola rasa dan pikiran.

Menerapkan jeda sejenak sebelum belanja adalah bentuk disiplin emosional. Semakin sering dilatih, semakin kuat pula kendali diri untuk melawan godaan doom spending.

Saat sedang berbelanja online, pastikan barang yang dibeli memang yang benar-benar dibutuhkan, bukan sekadar keinginan sesaat. Kalaupun untuk self-reward pastikan memang masih dalam batas anggaran yang ditetapkan. Ketika jalan-jalan ke mall, jangan buru-buru membeli barang yang baru dilihat atau dipegang. Selalu ambil jeda dan buat pertimbangan yang benar-benar matang sebelum memutuskan untuk membeli atau memiliki barang tersebut.

Jalan Keluar: Menabung tanpa Terasa Menyiksa

Mengatasi doom spending bukan berarti menolak semua bentuk belanja. Belanja tetap boleh bahkan perlu dilakukan, asalkan terkendali dan sesuai kebutuhan.

Solusi yang dianjurkan adalah membuat sistem otomatis: mengatur agar sebagian penghasilan langsung dialihkan ke rekening tabungan berbunga tinggi atau instrumen investasi sederhana.

Dengan cara ini, menabung terasa lebih ringan karena tidak bergantung pada niat atau suasana hati. Dalam hal ini, yang penting adalah konsistensi, meskipun jumlahnya kecil.

Seiring waktu, kebiasaan ini bisa membangun fondasi finansial yang lebih kokoh. Dan perlahan, rasa aman dari tabungan darurat akan jauh lebih menenangkan daripada rasa euforia belanja sesaat.

Harapan di Tengah Tekanan dan Tuntutan yang Makin Berat

Fenomena doom spending memang mencerminkan keresahan generasi muda, tapi bukan berarti tidak ada harapan. Banyak kisah inspiratif lahir dari mereka yang mulai membangun kebiasaan finansial sehat dari langkah kecil.

Kuncinya ada pada kesadaran bahwa masa depan tidak sepenuhnya gelap. Dengan strategi sederhana, dukungan komunitas yang sehat, serta disiplin kecil sehari-hari, krisis finansial bisa diantisipasi.

Healing yang sehat bukan datang dari belanja berlebihan, melainkan dari perasaan tenang saat tahu diri siap menghadapi badai hidup. Itulah hadiah paling berharga yang bisa kita berikan untuk diri sendiri.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Endah Wijayanti
Read Entire Article
Lifestyle | Fashion|