Fimela.com, Jakarta Di timeline, semuanya terlihat sempurna. Liburan mewah, gawai terbaru, outfit yang seolah langsung turun dari runway. Di balik itu, ada satu fakta yang jarang dibagikan: tagihan kartu kredit yang mencekik. Fenomena FOMO Debt bukan hanya soal belanja, tetapi tentang rasa takut tertinggal momen dan gengsi yang dibalut estetika media sosial.
Di era di mana likes bisa terasa seperti mata uang sosial, banyak yang rela berutang demi sebuah unggahan. Padahal, di situasi ekonomi yang serba tak pasti, kebiasaan ini bukan sekadar boros, melainkan seperti jebakan yang menggerogoti masa depan finansial. Mengupas fenomena ini berarti memahami bahwa di balik “yang penting eksis” sering tersembunyi dompet yang nyaris kosong.
1. Validasi Digital yang Berharga Mahal
Gawai atau pakaian edisi terbatas memang menggoda, terlebih ketika semua orang di lingkaran pertemanan membicarakannya.
FOMO Debt lahir, salah satunya, dari rasa takut tidak bisa menjadi buah bibir atau dianggap “kurang update”. Rasa ini kemudian mendorong keputusan finansial yang impulsif, bahkan ketika tabungan tidak mendukung.
Bagi sebagian orang, mengunggah foto liburan atau barang baru memberi sensasi pengakuan instan. Sayangnya, euforia ini sering bertahan sebentar, sedangkan cicilan bisa menempel berbulan-bulan.
Media sosial kadang menciptakan ilusi bahwa semua orang “hidupnya naik level”, padahal kenyataan di balik layar sering berbanding terbalik.
Validasi digital ini bukan gratis. Ada harga psikologis yang datang bersama beban finansial: stres, rasa bersalah, hingga ketidakmampuan memenuhi kebutuhan penting karena terlanjur habis di hal yang sifatnya sementara.
2. Tren Flexing dan Psikologi Pamer
Flexing bukan fenomena baru, tetapi media sosial membuatnya jauh lebih mudah diakses dan disebarkan. Foto kopi di kafe estetik, tiket konser VIP, atau unboxing barang branded kini menjadi “ritual” yang dianggap normal. Dalam budaya ini, yang dihargai bukan hanya barangnya, tetapi narasi gaya hidup yang melekat padanya.
Psikologi di balik flexing kerap dipicu oleh kebutuhan menunjukkan identitas. Barang atau pengalaman tertentu dianggap bisa meningkatkan citra diri di mata orang lain.
Sayangnya, situasi ini kerap menjadi jebakan ketika gaya hidup tersebut tidak selaras dengan kemampuan finansial yang sebenarnya.
Fenomena ini makin berbahaya ketika muncul peer pressure yang makin merepotkan: "jika orang lain bisa, maka saya pun harus bisa" atau "jika orang lain punya, maka saya wajib punya juga." Yang disayangkan, pola pikir inilah yang sering menyeret orang masuk ke utang konsumtif tanpa disadari.
3. Saat Kredit Menjadi Jembatan Ilusi
Kartu kredit dan layanan paylater menawarkan kemudahan transaksi yang membuat batas antara “mampu” dan “belum mampu” menjadi kabur. Dengan sekali gesek atau klik, barang impian pun tiba di tangan. Tetapi, di balik rasa puas itu, ada bunga dan biaya administrasi yang mengintai.
Sahabat Fimela, kemudahan ini ibarat jembatan yang tampak kokoh, tetapi sebenarnya rapuh. Satu pembelian impulsif mungkin terasa aman, namun akumulasi kecil-kecil inilah yang membuat beban cicilan membengkak.
Yang sering tak disadari, banyak yang menggunakan kredit untuk menutupi utang sebelumnya. Masalah ini kerap menciptakan siklus tak berujung di mana seseorang terus meminjam untuk membayar pinjaman, sementara kemampuan finansial semakin terkuras.
4. Literasi Finansial Perlu Dimiliki dengan Kesadaran Diri Positif
Menghindari FOMO Debt bukan hanya soal menahan diri, tetapi membangun pemahaman yang kokoh tentang pengelolaan uang.
Literasi finansial membantu kita melihat di balik iming-iming promo atau tren, dan menimbang apakah pembelian tersebut sepadan dengan nilai jangka panjangnya.
Memahami konsep seperti perencanaan anggaran, dana darurat, dan rasio utang sehat memberi kekuatan untuk berkata “tidak” pada pembelian yang tidak perlu.
Literasi finansial mengajarkan bahwa uang tidak hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk masa depan yang lebih stabil.
Semakin paham cara kerja uang, semakin kecil kemungkinan kita terjebak dalam keputusan emosional. Dengan begitu, rasa percaya diri bisa dimiliki dari kontrol penuh atas keuangan sendiri.
5. Menciptakan Gaya Hidup yang Sejalan dengan Dompet
Hidup sederhana bukan berarti kehilangan kesenangan. Kuncinya adalah menemukan cara menikmati hidup tanpa membebani keuangan.
Misalnya, mengganti liburan mewah dengan short getaway lokal yang lebih terjangkau, atau mencari hiburan dari kegiatan komunitas gratis yang tetap seru.
Sahabat Fimela, membangun gaya hidup yang ramah dompet juga berarti sadar bahwa kita tidak perlu harus selalu membuktikan segalanya kepada orang lain. Pilihan ini tidak hanya mengurangi stres finansial, tetapi juga memberi rasa tenang karena tidak terikat cicilan yang menekan.
Dengan menyesuaikan gaya hidup pada kemampuan, kita bisa merasakan kepuasan yang lebih tulus. Bukan dari komentar “wow” di media sosial, tetapi dari kestabilan yang terasa setiap hari.
6. Tips Menghindari Jeratan FOMO Debt
Pertama, tetapkan batas anggaran khusus untuk pengeluaran gaya hidup, dan patuhi meski ada godaan diskon besar. Sesuaikan juga dengan penghasilan atau pendapatan yang dimiliki.
Kedua, biasakan menunda pembelian setidaknya 24 jam untuk memberi waktu menimbang apakah barang tersebut benar-benar diperlukan. Khususnya untuk barang-barang yang awalnya tidak benar-benar dibutuhkan.
Ketiga, jauhi perbandingan yang tidak sehat di media sosial. Ingat bahwa yang terlihat hanyalah potongan terbaik dari hidup orang lain, bukan keseluruhannya.
Keempat, jika ingin mengikuti tren, pilih versi yang lebih terjangkau atau buat alternatif kreatif. Tidak perlu memaksakan diri mengikuti tren atau menggapai tren yang sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip atau nilai-nilai yang kita anut.
Sahabat Fimela, strategi ini bukan untuk menghilangkan kesenangan, tetapi memastikan bahwa kesenangan tersebut tidak dibayar dengan rasa cemas dan beban utang di kemudian hari.
7. Menggeser Fokus dari Pamer ke Pemberdayaan Diri
Kepuasan sejati tidak datang dari “likes” atau komentar, melainkan dari rasa aman secara finansial dan kebebasan membuat pilihan hidup. Menggeser fokus dari pamer ke pemberdayaan diri berarti menggunakan uang untuk hal yang memberi nilai nyata, seperti belajar keterampilan baru, berinvestasi, atau membangun usaha.
Sahabat Fimela, ketika kita mengarahkan energi pada pencapaian yang berkelanjutan, kebutuhan untuk memamerkan sesuatu demi validasi akan berkurang dengan sendirinya.
Orang akan mengingat kita bukan dari apa yang kita unggah, tetapi dari dampak yang kita berikan.
Dengan pola pikir ini, uang menjadi alat untuk menciptakan kebebasan, bukan beban. Jangan sampai hidup jadi terikat utang demi citra yang semu.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.