Fimela.com, Jakarta Tidak semua kehilangan hadir dengan tanda peringatan. Terkadang kehadirannya mendadak, mengejutkan, dan mengubah cara kita memaknai segalanya. Saat orang yang begitu penting bagi hidup kita pergi, dunia tidak hanya terasa sunyi, melainkan bisa seakan berubah rupa, seakan-akan segala hal yang dulu kita kenal tak lagi sama. Tapi di balik kehampaan itu, ada ruang baru yang bisa dibentuk. Bukan untuk melupakan, melainkan untuk tumbuh di sekitar luka itu.
Duka bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dan bukan teka-teki yang butuh jawaban, atau penyakit yang harus disembuhkan. Dalam pandangan psikolog dr. Lois Tonkin, duka tidak mengecil seiring waktu. Justru kehidupanlah yang tumbuh mengelilingi duka itu. Maka pertanyaannya bukan "kapan sembuh", melainkan "bagaimana hidup bisa terus berkembang bersama kehilangan itu."
Duka Tak Selalu Mengecil, Tapi Hidup Bisa Membesar
Mengutip laman Organizations Headspace tentang Growing Around Grief, dr. Lois Tonkin menyodorkan satu pemikiran sederhana tapi dalam: kita tidak harus “menghilangkan” duka agar bisa melanjutkan hidup.
Justru, kita bisa membiarkan duka itu tetap tinggal, sambil pelan-pelan memperbesar ruang hidup kita. Ibaratnya seperti lingkaran kecil yang gelap di tengah lingkaran yang makin melebar, yaitu dengan waktu, kita membangun dunia baru yang tetap memuat kehilangan itu sebagai bagian yang sah dan tak terpisahkan.
Kehidupan tidak kembali seperti semula setelah kehilangan besar. Tapi bukan berarti ia tidak bisa punya bentuk baru. Setiap tawa, langkah baru, atau keputusan penting di masa depan akan terasa berbeda, dan justru karena itu, mereka menjadi lebih bermakna. Ada keberanian dalam memilih untuk terus melangkah, bukan karena duka telah selesai, tapi karena hidup tetap pantas untuk dijalani.
Duka tidak membatasi kita. Ia mengajarkan cara baru untuk menyentuh makna, menghargai kebersamaan, dan menemukan keindahan dalam hal-hal sederhana yang dulu terabaikan. Dalam kehilangan, kita belajar mengenali nilai waktu dan hadir secara penuh dalam hidup.
Najwa Shihab Kehilangan Suami Tercinta, Ibrahim Sjarief Assegaf
Najwa Shihab tengah berduka atas meninggalnya suami tercintanya, Ibrahim Sjarief Assegaf, setelah 27 tahun menjalani rumah tangga bersama. Ibrahim bukan hanya menjadi pasangan hidup Najwa, tapi juga sosok sahabat dan pendamping setia selama bertahun-tahun.
Kabar duka ini mengejutkan banyak pihak, mengingat kedekatan dan kebersamaan mereka yang sering terlihat dalam berbagai kesempatan.
Kabar ini mengingatkan banyak orang akan pentingnya waktu bersama orang yang kita cintai, serta betapa rapuhnya kehidupan yang penuh ketidakpastian.
Berduka Bukanlah Kekalahan, tapi Awal Sebuah Transformasi
Ada yang berubah saat kehilangan datang, bukan hanya di sekitar kita, tapi juga di dalam diri. Banyak orang mengira duka adalah titik akhir. Tapi nyatanya, justru di sanalah banyak hal penting dimulai: kesadaran, ketangguhan, dan kedalaman makna.
Sahabat Fimela, setiap air mata yang jatuh bukanlah tanda kelemahan. Ia bisa menjadi jalan masuk menuju pengenalan diri yang lebih utuh. Kehilangan bisa menjadi pemantik untuk memeriksa ulang nilai hidup, dan sering kali membuka ruang bagi hal-hal yang sebelumnya tak kita sadari penting: keheningan, waktu berkualitas, dan kasih yang tak bersyarat.
Transformasi ini tidak berarti kita berubah menjadi orang baru. Melainkan, kita kembali menjadi versi paling sejati dari diri kita—karena duka mengikis hal-hal yang tak perlu, dan meninggalkan kita dengan esensi yang murni.
Tak Ada Pola Tunggal dalam Menjalani Duka
Satu hal penting yang sering dilupakan: tidak ada jalan yang “benar” dalam berduka. Banyak orang terjebak dalam ekspektasi sosial, merasa perlu terlihat kuat, atau berpura-pura pulih demi kenyamanan orang lain. Padahal, Sahabat Fimela, setiap orang berduka dengan cara yang berbeda, dan semua bentuk duka itu sah.
Mengutip buku Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring, "Mengapa bisa ada berbagai cara berbeda dalam merespons kematian? Sebenarnya penjelasannya cukup sederhana. Kematian seseorang yang bermakna buat kita akan menimbulkan rasa sakit. Manusia tidak suka rasa sakit. Maka, manusia akan berusaha melakukan apa pun untuk meredakan rasa sakit itu. Dalam psikologi, hal ini disebut sebagai coping mechanism."
Setiap orang mengalami dan mengekspresikan kesedihan dengan cara yang unik sesuai dengan kepribadian, pengalaman, dan ikatan emosionalnya; tidak ada cara yang benar atau salah dalam berduka, karena setiap bentuk kesedihan adalah sah dan layak dihormati sebagai bagian dari proses penyembuhan dan penerimaan kehilangan.
Mungkin bagi sebagian orang, menulis adalah caranya. Bagi yang lain, keheningan. Bagi sebagian lagi, berkarya. Yang penting bukan bagaimana kita berduka, tapi bagaimana kita jujur pada proses itu—karena kejujuran pada perasaan adalah bentuk tertinggi dari keberanian.
Bertumbuh dalam Duka atau Kehilangan
Sahabat Fimela, kehilangan membuat kita sadar bahwa hidup bukan tentang memiliki, melainkan tentang mengalami. Ketika seseorang pergi, mereka tidak benar-benar hilang. Mereka hanya berubah bentuk: menjadi bagian dari ingatan, refleksi, dan kekuatan baru di dalam diri kita.
Dalam pandangan ini, kehilangan justru menciptakan ruang pertumbuhan yang unik. Kita belajar mencintai lebih dalam, menghargai lebih banyak, dan menjadi lebih lembut terhadap diri sendiri. Kita belajar bahwa hidup tidak harus sempurna untuk tetap berarti.
Dan paling penting: kita menyadari bahwa duka bukan sesuatu yang harus diselesaikan, melainkan bisa menjadi teman seperjalanan. Teman yang senyap, tapi setia—yang mengingatkan kita pada hal-hal yang pernah sangat kita cintai, dan bahwa kita mampu untuk mencintai sedalam itu lagi.
Menata Ulang Makna Hidup Setelah Ditinggal Pergi
Apa arti hidup ketika orang yang paling berarti tidak lagi ada di sisi? Jawabannya tidak selalu jelas, tapi satu hal pasti: makna itu bisa dibentuk ulang. Kita bisa merajut ulang tujuan, harapan, dan impian, meski dengan hati yang pernah robek.
Kehidupan setelah kehilangan mungkin tak akan seperti sebelumnya, tapi itu bukan berarti lebih buruk. Ia bisa lebih jujur, lebih dalam, dan lebih penuh kasih. Justru karena kita tahu rapuhnya waktu, kita belajar untuk lebih hadir—lebih sungguh-sungguh dalam mencintai, memberi, dan menerima.
Sahabat Fimela, di tengah hening dan sepi itu, ada benih kebijaksanaan yang pelan-pelan tumbuh. Dan suatu hari nanti, ketika kita menengok ke belakang, kita akan melihat: dari tanah duka yang paling dalam, ternyata bisa tumbuh kehidupan yang tak kalah indah.
Kehilangan bukanlah batas akhir dari cerita, melainkan bisa diibaratkan seperti titik koma—sebuah jeda yang memungkinkan kita menata ulang arah, menemukan kekuatan baru, dan memperluas hidup di sekitar luka.
Duka mungkin tidak akan pernah pergi, tapi hidup kita tetap bisa tumbuh, bahkan di tengah bayangannya. Dan dalam pertumbuhan itu, kita menemukan kembali makna yang selama ini terasa hilang.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.