Fimela.com, Jakarta Di Indonesia, istilah Rojali (rombongan jarang beli) belakangan ini ramai jadi bahan obrolan di media sosial. Biasanya merujuk pada orang-orang yang datang ke kafe atau restoran beramai-ramai, tapi hanya memesan sedikit atau bahkan tidak sama sekali. Fenomena ini sering bikin pemilik usaha makan hati, karena kursi penuh tapi omzet tak sebanding.
Namun, siapa sangka di Korea Selatan ada fenomena serupa, hanya saja wujudnya lebih ekstrem. Namanya Cagongjok, singkatan dari café dan gongbu (belajar). Awalnya istilah ini hanya dipakai untuk menyebut pelajar yang belajar di kafe, tapi kini meluas ke pekerja kantoran dan freelancer. Bedanya, mereka bukan sekadar duduk lama, melainkan benar-benar membawa “kantor” ke kafe.
Bayangkan, ada pelanggan yang datang ke Starbucks dengan dua laptop, monitor tambahan, printer, hingga power strip dengan enam colokan. Kursi yang seharusnya bisa dipakai beberapa orang, mendadak berubah jadi ruang kerja pribadi seharian penuh.
Fenomena ini membuat banyak kafe kewalahan. Suasana kafe yang biasanya jadi tempat bersantai dan ngobrol, justru berubah seperti coworking space gratis. Akibatnya, pengunjung lain yang ingin duduk santai dengan secangkir kopi harus gigit jari karena kursi sudah dikuasai “kantor dadakan”.
Budaya Kerja Intens dan Kurangnya Ruang Publik
Lalu, kenapa fenomena Cagongjok bisa begitu besar di Korea? Melansir dari BBC International, jawabannya ada pada budaya kerja dan pendidikan yang super kompetitif. Jam belajar yang panjang, persaingan ketat masuk universitas, hingga jam kerja yang melelahkan, membuat banyak anak muda mencari ruang fleksibel di luar rumah atau kantor.
Kafe pun jadi pilihan ideal: buka sampai larut, punya Wi-Fi, suasana lebih hidup dibanding perpustakaan, dan pastinya ada colokan listrik. Bagi sebagian orang, duduk di kafe juga jadi cara untuk merasa lebih “grounded”, tidak merasa sendirian, dan tetap produktif.
Starbucks Turun Tangan
Melihat fenomena ini, Starbucks Korea akhirnya mengeluarkan aturan resmi pada Agustus 2025. Isinya, pelanggan dilarang membawa perangkat besar seperti desktop, printer, dan monitor tambahan yang bisa mengganggu kenyamanan pengunjung lain.
Namun, pendekatan Starbucks cukup halus. Mereka tidak serta-merta mengusir pelanggan, melainkan memberi “arahan” bila ada yang kedapatan membuat setup terlalu ekstrem. Langkah ini juga dianggap melindungi pelanggan dari risiko pencurian, karena banyak yang meninggalkan barang berharga begitu saja di meja saat pergi makan.
Seperti halnya di Indonesia dengan fenomena Rojali, kebijakan Starbucks Korea juga menuai pro dan kontra. Banyak orang yang senang karena akhirnya bisa kembali menemukan kursi kosong dan ngobrol dengan nyaman tanpa merasa bersalah mengganggu suasana tenang.
Namun, ada juga yang menilai aturan ini terlalu berlebihan, seolah membatasi kebebasan pelanggan. Padahal bagi sebagian pelajar dan pencari kerja, kafe adalah satu-satunya tempat yang terasa aman dan nyaman untuk belajar atau bekerja seharian.
Masalah Serupa di Indonesia hingga Solusi “Time Seating”
Sekilas, Rojali di Indonesia dan Cagongjok di Korea terlihat berbeda. Yang satu masalahnya di “jarang beli”, yang lain di “duduk terlalu lama dengan setup berlebihan”. Tapi pada intinya, keduanya sama-sama menyinggung soal ruang publik, etika, dan keseimbangan antara hak pelanggan dan keberlangsungan bisnis kafe.
Baik pemilik kafe di Yogyakarta yang lelah menghadapi Rojali, maupun barista Starbucks di Seoul yang pusing menghadapi Cagongjok, sama-sama berada di posisi sulit. Mereka harus menjaga bisnis tetap berjalan, tanpa kehilangan pelanggan setia.
Dilema serupa juga terjadi di Indonesia. Banyak kafe yang menghadapi pelanggan duduk berjam-jam dengan hanya memesan satu gelas kopi. Tak heran, sejumlah pemilik kafe akhirnya menerapkan aturan time seating, misalnya maksimal 2 jam seperti di cafe The Neighborhood yang berlokasi di Jakarta Selatan, atau membatasi akses waktu Wi-Fi gratis agar kursi tetap berganti dan bisnis tetap berjalan sehat.
Fenomena Cagongjok tidak bisa dilepaskan dari ledakan jumlah kafe di Korea Selatan. Dilansir dari The Straits Times, jumlah kafe melonjak hampir dua kali lipat dalam kurang dari satu dekade. Data Statistics Korea mencatat, pada 2015 ada sekitar 51.500 kafe, sementara di 2024 jumlahnya sudah menembus lebih dari 100.000. Angka ini bahkan lebih besar dibanding gabungan total empat jaringan minimarket terbesar di Korea.
Lonjakan ini terjadi karena kafe tidak lagi sekadar tempat minum kopi, melainkan juga menjadi ruang favorit untuk belajar dan bekerja. Namun, bagi pemilik usaha, tren duduk berjam-jam di kafe bisa menjadi dilema.
Menurut Korea Food Service Industry Research Institute, pada 2019 harga segelas kopi seharga 4.100 won (sekitar Rp47 ribu) hanya bisa menutup biaya kursi selama 1 jam 42 menit sebelum dianggap merugikan. Tapi pada 2024, batas waktunya turun jadi hanya 1 jam 31 menit.
Itulah sebabnya Starbucks Korea menegaskan bahwa mereka tidak melarang penggunaan laptop atau belajar di kafe. Aturan baru ini hanya untuk membatasi pelanggan yang mengubah kafe menjadi “kantor penuh” dengan desktop, printer, hingga kabel panjang yang mengganggu kenyamanan pengunjung lain.
Pertanyaannya kini, apakah kita bisa menjaga etika saat menggunakan ruang bersama ini? Karena pada akhirnya, baik di Indonesia maupun Korea, kafe hanya bisa jadi ruang nyaman jika setiap orang tahu batasannya. Bagaimana menurutmu, Sahabat FIMELA?
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.