Judul: Dewa Angkara Murka
Penulis: Aya Widjaja
Editor: Vania Adinda
Proofreader: Karina Anjani
Desain kover: Amalina Nur Asrari
Cetakan kedua: April 2025
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
***
Dewangkara Maheswara mungkin bukan bos impian semua orang. Wibawa dan ketegasannya mungkin memikat secara profesional, tapi sikapnya yang suka memerintah seenaknya membuat seluruh kantor sepakat memberinya julukan "Dewa Angkara Murka".
Tapi siapa sangka, si bos tukang murka ini justru menjadi "penyelamat" di saat hati Mosha sedang compang-camping karena ditinggal nikah oleh mantan pacarnya yang, tragisnya, masih satu kantor juga.
Mosha, di sisi lain, adalah karakter yang banyak orang bisa rasakan emosinya. Ditinggal nikah itu sakit. Tapi ditinggal nikah sama seseorang yang selama lima tahun menolak berkomitmen—dan malah menikah tak lama setelah putus—itu... bener-bener nyelekit.
Kebayang tidak rasanya harus menghadapi bisik-bisik rekan kerja, tatapan kasihan, bahkan mungkin cibiran terselubung? Kalau kita ada di posisinya mungkin kita akan nekat untuk resign.
Namun, hidup berkata lain. Mosha tidak resign. Justru ia menerima tawaran paling absurd sepanjang hidupnya: datang ke kondangan mantan bareng bos sendiri sebagai pasangan pura-pura.
Awalnya Mosha tentu saja menolak. Wajar, dong. Sampai kemudian, ada suatu hal tentang mantannya yang membuat Mosha marah sampai gelap mata dan akhirnya mengiakan tawaran Dewang. Maka, dari sanalah semuanya berubah.
Kita tahu trope fake dating bukan sesuatu yang baru di dunia fiksi romansa. Tapi justru karena temanya umum, pembaca jadi bisa mengukur seberapa cerdik penulis dalam membumbuinya.
Cerita dalam novel ini dikemas dengan pace yang pas, dialog yang hidup, dan karakter yang terasa nyata. Ketika karakter dan interaksinya terasa hidup, pembaca akan tetap bertahan sampai halaman terakhir.
Dari dialog yang segar, interaksi Mosha-Dewang yang penuh tarik-ulur, hingga momen-momen awkward mereka saat pura-pura mesra, semuanya dibangun dengan manis dan kadang kocak.
Walaupun tone novel ini ringan dan banyak mengundang tawa, Dewa Angkara Murka juga membawa pesan yang cukup dalam. Mulai dari luka lama yang perlu disembuhkan, sampai bagaimana kita menyikapi masa lalu sebagai pelajaran, bukan sebagai beban.
Lewat Mosha, kita mendapat perspektif bahwa tidak semua mantan layak diratapi atau ditangisi. Dan bahwa move on bukan sekadar tentang mencari pengganti, tapi tentang kembali percaya pada diri sendiri.
Yang menarik, ada juga sorotan pada peran keluarga. Kita akan menemukan kenyamanan tersendiri dari cara keluarga Mosha digambarkan yang hangat, suportif, tapi tetap realistis. Orangtua Mosha tidak digambarkan sebagai tokoh yang sok tahu, melainkan sebagai orang yang belajar memahami dan mendukung keputusan anaknya, meski kadang sulit.
Meskipun secara keseluruhan karakter Mosha terasa berkembang dan realistis, mungkin kita akan merasa hubungan Mosha dan Dewang belum terlalu dalam. Bisa jadi hal ini karena sepanjang cerita mereka masih terjebak dalam status pura-pura, jadi belum banyak ruang untuk eksplorasi emosi yang benar-benar jujur.
Tapi justru itu yang membuat akhir cerita terbuka. Apakah akan ada kelanjutannya? Apakah mereka akan jadian sungguhan? Pertanyaan-pertanyaan ini membuat pembaca penasaran dan berharap ada sekuel.
Novel ini menghadirkan konflik yang tergolong ringan tetapi tetap mampu memancing emosi pembaca, bukan sampai marah besar, tapi cukup bikin kesal dan menggelengkan kepala karena keputusan beberapa tokohnya.
Cerita berfokus pada dinamika romansa, konflik pekerjaan, serta sedikit persoalan keluarga yang dituturkan dari sudut pandang Mosha sebagai tokoh utama. Gaya penceritaannya menggunakan bahasa sehari-hari yang luwes dan mudah diikuti, membuat pengalaman membaca terasa menyenangkan dan mengalir.
Alurnya pun maju dengan beberapa kilas balik yang disajikan secara halus dan tidak membingungkan. Selain menggambarkan realita pekerja kantoran dan dinamika dunia start-up, novel ini juga menyoroti seperti apa sosok laki-laki yang layak diperjuangkan dan mana yang sebaiknya ditinggalkan.
Novel ini bisa menjadi pilihan bacaan yang menyegarkan untuk dinikmati saat hidup sedang melelahkan. Tanpa perlu berpikir terlalu dalam, tapi tetap memberi ruang untuk tertawa dan merenung sejenak.
Cocok untuk kamu yang sedang suntuk, butuh pelarian dari kenyataan, atau sekadar ingin baca sesuatu yang membuat hati lebih ringan.
Dewa Angkara Murka adalah novel yang membuktikan bahwa cerita romansa tidak harus rumit untuk bisa berkesan. Cukup dengan karakter yang kuat, dialog yang hidup, dan pesan yang menyentuh, Aya Widjaja sukses menciptakan cerita yang membuat pembacanya ngakak, geregetan, dan kadang terdiam karena merasa tersentuh.
Kalau kamu mencari bacaan yang ringan tapi tetap punya nilai emosional, novel ini bisa menjadi salah satu pilihan tepat. Cocok buat penggemar office romance, fake relationship trope, atau siapa saja yang sedang belajar bangkit dari patah hati.
Karena terkadang, penyembuh terbaik bukan datang dari masa lalu yang dimintai kembali, tapi dari seseorang yang datang tiba-tiba dan berkata, “Aku akan pura-pura jadi pasanganmu, kalau itu bisa bikin kamu tersenyum lagi.”