Rupa-rupa Kisah Budaya di PIFW 2025 Day 7 dari Cita Tenun Indonesia, Mel Ahyar Archipelago, hingga Danyo Hiyoji

Fimela.com, Jakarta Plaza Indonesia Fashion Week (PIFW) 2025 kembali menjadi panggung prestisius yang memadukan kreativitas, craftsmanship, dan semangat kolaboratif industri mode Tanah Air. Mengusung tema besar “Love Letters to Plaza Indonesia: Celebrating 35 Iconic Years,” perhelatan ini tak sekadar menandai perjalanan panjang Plaza Indonesia sebagai pusat gaya hidup ikonik, tapi juga menjadi surat cinta bagi dunia mode Indonesia, tempat para desainer, brand, dan komunitas kreatif saling bertemu dan bertumbuh bersama.

Tahun ini, perayaan 35 tahun Plaza Indonesia dikemas dalam rangkaian acara yang lebih besar dan inklusif dari tahun-tahun sebelumnya. Selama delapan hari, dari 28 September hingga 5 Oktober 2025, The Warehouse Level 5 menjadi rumah bagi 35 pertunjukan mode, termasuk tiga kids fashion show dan satu pertunjukan spesial yang merayakan perjalanan lintas generasi dari kids, women’s, hingga men’s fashion.

Dan pada hari ke-7, panggung PIFW 2025 menjadi semakin berwarna dengan kehadiran deretan desainer ternama yang menuturkan kisah budaya melalui karya mereka: Cita Tenun Indonesia, Mel Ahyar Archipelago, Lanivatti x Yosafat Dwi Kurniawan, Temma Prasetio, dan Danjyo Hiyoji.

Hari itu menjadi selebrasi wastra Nusantara, gaya kontemporer, serta kekuatan narasi visual dalam busana, menyatukan akar tradisi dan semangat modernitas dalam satu irama yang memikat.

Mengawali peragaan hari ke-7, Cita Tenun Indonesia (CTI) menampilkan koleksi bertajuk “MODULUS.” Sebuah presentasi yang bukan hanya mengagungkan kain tenun, tetapi juga mengajak publik melihatnya dari perspektif baru: lentur, adaptif, dan mampu bertransformasi tanpa kehilangan jati diri.

Didirikan sejak 2008, CTI konsisten menjadi garda depan dalam pelestarian tenun Indonesia melalui pelatihan, pembinaan, dan pemberdayaan perajin di 28 kabupaten/kota di 14 provinsi. Tahun ini, kolaborasi CTI menghadirkan tiga label lokal dengan interpretasi berbeda terhadap tenun: Jeffry Tan, DIBBA, dan IKYK.

Dalam semangat “modulus” sebagai sistem yang lentur, setiap desainer menafsirkan tenun bukan sekadar sebagai warisan statis, tetapi sebagai bahasa mode yang hidup dan terus berkembang.

• Jeffry Tan mengolah Tenun Sobi Wajo (Sulawesi Selatan) dan Tenun Sobi Muna (Sulawesi Tenggara), kain khas Suku Bugis dengan motif yang hanya terlihat di satu sisi kain. Ia menerjemahkannya dalam potongan modern dengan karakter konstruksi presisi, memunculkan kontras visual antara kekuatan dan kelembutan.
• DIBBA di bawah arahan Faisal Shah menggabungkan Tenun Garut dan Tenun Lurik, menghadirkan permainan tekstur dan geometri yang menyeimbangkan sisi feminin dan maskulin dalam satu kesatuan gaya eklektik.
• Sementara IKYK lewat tangan kreatif Anandia Marina Putri Harahap, memadukan Tenun Sumba dan Tenun Sambas dalam siluet oversized khas label ini, menciptakan harmoni antara elemen bumi, air, dan udara.

Lebih dari sekadar mode, CTI membangun jembatan antara tradisi dan inovasi. Sejak meraih penghargaan Fashion 4 Development (F4D) dari PBB pada 2012 dan diakui oleh World Craft Council (WCC), CTI terus berkomitmen mengembangkan ekosistem mode berkelanjutan. Salah satunya lewat pendirian Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Tenun Indonesia, yang memastikan kompetensi dan keberlanjutan profesi perajin di seluruh nusantara.

Koleksi “MODULUS” menjadi bukti bahwa tenun bukan sekadar kain, tetapi narasi kolektif tentang identitas, keterampilan, dan masa depan mode Indonesia.

Masih dalam kolaborasi bersama CTI, IKYK menampilkan koleksi “TERRA”, yang diambil dari bahasa Latin berarti bumi. Melalui koleksi ini, Anandia Putri menggali makna terdalam antara manusia dan tanah asalnya, menautkan narasi antara tradisi dan inovasi.

Dalam TERRA, Tenun Sumba dengan motif kosmologisnya dipilih sebagai representasi elemen api dan bumi, sementara Tenun Sambas yang lembut dan bergradasi halus melambangkan air dan udara. Dua elemen berlawanan ini diolah menjadi koleksi yang harmonis, dengan ciri khas IKYK yang modest, berlapis, dan berpotongan oversized.

Palet warna TERRA berangkat dari lanskap alam: navy, maroon, beige, abu-abu, dan olive. Setiap potong busana bercerita tentang kekuatan, ketenangan, dan keseimbangan. Melalui pendekatan functional fashion, koleksi ini dirancang tak hanya indah di panggung, tapi juga relevan di pasar global.

Anandia menyebut, “Koleksi ini adalah bentuk penghormatan pada bumi dan tradisi. Kami ingin menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan sekadar tren, tetapi sebuah nilai yang bisa kita pakai dan rawat setiap hari.”

Dengan TERRA, IKYK mempertegas komitmennya terhadap desain yang sadar sosial dan ramah lingkungan, busana yang tidak hanya menonjolkan estetika, tetapi juga makna.

Menutup kolaborasi CTI, Jeffry Tan menampilkan “Askara Raya”, koleksi yang menjadi wujud eksplorasi modernitas tanpa meninggalkan akar budaya.

Mengangkat Tenun Sobi Wajo dan Tenun Sobi Muna, Jeffry menerjemahkannya ke dalam busana dengan teknik tailoring tajam dan siluet longgar yang terinspirasi dari baju bodo. Warna doff, potongan bersih, dan permainan kontras tekstur menciptakan harmoni antara kekuatan dan kelembutan, sebuah ode bagi perempuan Indonesia yang modern namun berakar pada budaya.

Sebanyak 12 tampilan ditampilkan di runway, menonjolkan keseimbangan antara fungsi dan estetika. Menariknya, Jeffry juga meluncurkan lini Jeffry Tan Collectible berupa sepatu berhak 7 cm dengan desain pointy dan round toe yang menonjolkan kesan jenjang dan elegan.

Bagi Jeffry, Askara Raya bukan sekadar koleksi, melainkan manifestasi dari perjalanan desain yang menghubungkan presisi teknik dengan emosi manusia. Ia berkata, “Saya ingin menampilkan perempuan Indonesia yang elegan tanpa berusaha keras., mereka yang kuat, mandiri, namun tetap lembut,” tuturnya.

Label DIBBA membawa penonton menyeberangi waktu melalui koleksi “By the Docks of Time.” Menggali inspirasi dari kejayaan maritim Indonesia pada abad ke-17 hingga ke-19, desainer Faisal Shah merangkai kisah pelabuhan sebagai tempat pertemuan budaya, sejarah, dan pergerakan manusia.

Motif ombak, kerang, dan elemen mesin jam berpadu dalam visualisasi yang kaya makna, mencerminkan hubungan antara masa lalu dan masa kini. Kolaborasinya dengan Cita Tenun Indonesia menampilkan perpaduan Tenun Garut dan Tenun Lurik, dua kain dengan karakter berbeda yang disatukan dalam harmoni kontras: feminin dan maskulin, tradisi dan modernitas.

Faisal memadukan material lokal dengan bahan premium seperti Italian wool, woven silk, dan leather, menciptakan tampilan berstruktur dengan 12 look, enam untuk perempuan, enam untuk pria. Sentuhan European tailoring memperkuat kesan elegan dan global, tanpa kehilangan jiwa Indonesia-nya.

Koleksi ini adalah bentuk penghormatan DIBBA pada sejarah panjang Nusantara sebagai bangsa maritim, sekaligus ajakan untuk terus berlayar menembus waktu lewat karya mode.

Panggung kemudian beralih ke Mel Ahyar Archipelago, yang kali ini menuturkan kisah dari Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Koleksi bertajuk “Tanah Laut” ini berangkat dari keindahan alam, sejarah, dan keragaman budaya daerah yang disebut Bumi Nan Bungas tersebut.

Mel Ahyar memadukan riset antropologis dan pendekatan artistik untuk menciptakan 27 menswear looks, dengan 10 di antaranya dikenakan oleh perempuan. Ia mendekonstruksi kain Sasirangan menjadi busana dengan struktur tailoring yang rapi namun tetap memiliki twisted beauty khas Mel Ahyar.

Motif Kejujuran dan Seribu Sungai dikembangkan menjadi pola topografis yang menyerupai lanskap Tanah Laut: dari Pantai Takisung hingga Gunung Birah. Setiap garis pada kain menjadi simbol lapisan cerita tentang tanah, air, dan kehidupan.

Dalam pertunjukan ini, Mel juga menggandeng stylist Hagai Pakan, dengan deretan muse ternama seperti Maudy Ayunda, Sheila Dara, Titi Radjo Padmaja, hingga Ario Bayu. Aksesori berupa tas anyaman purun dari tanaman gambut Lepironia articulata menambah kekuatan narasi lokal yang berkelanjutan.

“Tala (Tanah Laut) adalah cermin keindahan yang belum banyak disorot. Ia bukan hanya kaya secara alam, tapi juga kaya akan cerita dan potensi manusia,” ungkap Mel Ahyar.

Koleksi Tanah Laut menjadi refleksi kecintaan Mel pada wastra Nusantara, sebuah bentuk penghargaan terhadap daerah-daerah yang menjadi denyut nadi budaya Indonesia.

Kolaborasi Lanivatti x Yosafat Dwi Kurniawan menjadi salah satu sorotan hari itu. Lanivatti menampilkan koleksi “Crescendo,” sebuah tribut bagi keseimbangan antara struktur dan kelembutan, menggabungkan material alami seperti linen, tencel, dan katun dalam palet netral khas label ini: hitam, gading, dan beige.

Setiap potongan, dari safari jacket hingga blazer jacquard, menggambarkan harmoni antara fungsi dan gaya. Tassel lembut di ujung busana menjadi metafora keanggunan: kekuatan yang tenang.

Sementara itu, Yosafat Dwi Kurniawan mempersembahkan koleksi “Form of Seduction”, eksplorasi busana pria yang menggoda tanpa kehilangan kontrol. Melalui tailored jacket berbahan tweed, atasan tanpa lengan dari bahan mewah, hingga aksen kulit eksotik, Yosafat menampilkan versi baru dari sensualitas pria.

“Bagi saya, daya tarik sejati terletak pada subtilitas,” ujarnya. Koleksi ini juga menampilkan sentuhan batik dan tenun tangan, bukan sebagai ornamen, melainkan bagian utuh dari narasi desain yang reflektif dan emosional.

Dua koleksi ini berpadu menjadi percakapan visual antara warisan dan modernitas, tentang bagaimana busana bisa menjadi medium introspeksi dan ekspresi diri.

Dari ranah menswear, Temma Prasetio menghadirkan Annual Collection 2026 melalui label Temma Prasetio Ready to Wear. Setelah tampil di ajang internasional seperti Dubai Fashion Week 2023 dan Mercedes-Benz Fashion Week Kuala Lumpur 2025, Temma kini kembali menegaskan visinya di panggung tanah air.

Sebanyak 26 look ditampilkan, menonjolkan siluet boxy, layering elegan, dan tailoring maskulin dengan material seperti knit, suede, semi-wool, hingga cotton linen. Koleksi ini dibuat bekerja sama dengan CM Textile, produsen kain premium asal Indonesia yang dikenal atas inovasi materialnya.

Palet warna bumi yang muted menciptakan nuansa kuat namun tenang, sementara sepatu dari Mario Minardi melengkapi tampilan runway yang matang dan maskulin.

“Saya ingin meng-elevate gaya berpakaian pria tanpa menghilangkan kesan maskulin. Setiap potongan didesain untuk bisa dipakai dengan percaya diri dalam kehidupan nyata,” kata Temma.

Koleksi ini membuktikan bahwa busana pria Indonesia kini tak hanya tampil di runway, tetapi juga siap bersaing di panggung global.

Menutup peragaan hari ke-7, label Danjyo Hiyoji menghadirkan semangat muda dan dinamis lewat koleksi “Athletic Rhythm.” Koleksi ini menampilkan interpretasi baru gaya sporty yang disulap menjadi busana elegan, berenergi, dan ekspresif.

Melalui permainan warna-warna berani, silhouette yang playful, serta teknik fabrikasi inovatif, Danjyo Hiyoji menghadirkan ritme visual yang penuh vitalitas. Tekstur dan struktur berpadu menciptakan keseimbangan antara fungsi dan fashion—busana yang dirancang untuk pria modern yang aktif, percaya diri, dan bebas berekspresi.

Koleksi ini menegaskan DNA Danjyo Hiyoji: keberanian bereksperimen tanpa kehilangan arah. Sebuah penutup yang sempurna untuk hari penuh kreativitas dan kebanggaan.