7 Sikap Tepat untuk Menghadapi Orang yang Selalu Menyakitimu

20 hours ago 7

Fimela.com, Jakarta Terkadang yang paling sering menyakiti justru orang yang kita beri ruang paling besar. Bukan karena kita lemah, tetapi karena kita terlalu berharap orang lain akan bersikap sebaik yang kita pikirkan. Tapi kenyataannya, ada saja yang terus mengulang luka, seakan tidak sadar bahwa empati itu ada.

Bersikap bijak juga tidak harus selalu diam. Jika kamu sedang berurusan dengan seseorang yang kerap menyakitimu—secara kata, sikap, atau perlakuan—ada cara yang lebih kuat namun tetap anggun untuk meresponsnya. Artikel ini hadir bukan untuk membuatmu jadi keras kepala, tetapi agar kamu bisa melindungi dirimu tanpa harus kehilangan versi terbaik dari dirimu sendiri. Yuk, Sahabat Fimela, kita bahas tujuh sikap yang bisa kamu tanamkan mulai hari ini.

1. Tegaskan Batasan Pribadi

Batas bukan tembok, tapi pelindung.

Sahabat Fimela, menghadapi orang yang menyakitimu bukan berarti harus membalas dengan luka. Namun, membiarkan mereka terus masuk ke ruang pribadimu tanpa aturan justru akan mengikis ketenangan batinmu. Bersikaplah jelas. Nyatakan hal-hal yang tidak bisa kamu toleransi tanpa perlu meledak-ledak.

Menetapkan batas bukan tentang menolak keberadaan mereka, tapi mengatur seberapa dekat mereka bisa mendekat. Orang yang menyakitimu seringkali merasa nyaman karena tidak ada sinyal tegas bahwa sikap mereka melukai. Maka, penting untuk berani berkata, “Aku tidak nyaman saat kamu berbicara seperti itu,” atau “Aku butuh waktu sendiri dulu.”

Dan yang terpenting, Sahabat Fimela, batas ini bukan cuma ucapan. Ia harus ditegakkan secara konsisten. Jangan ubah aturannya hanya karena kamu merasa kasihan. Rasa kasihan bisa menyesatkan jika kamu tidak sedang mengasihi dirimu sendiri.

2. Bicara dengan Tenang

Marah tidak selalu menguatkan, dan diam tidak selalu menyelesaikan.

Saat disakiti, banyak orang memilih dua jalan ekstrem: meledak atau memendam. Padahal ada opsi ketiga yang jauh lebih dewasa: mengomunikasikan perasaan dengan tenang. Ini bukan tentang memaafkan dengan cepat, tapi menguraikan kekusutan tanpa menambah simpul baru.

Sahabat Fimela, kalimat yang jernih lahir dari pikiran yang tenang. Bicaralah ketika emosi sudah mereda, bukan saat sedang berkecamuk. Tidak perlu terburu-buru menghakimi niatnya, tapi cukup ungkapkan efeknya terhadapmu. Gunakan kalimat yang fokus pada perasaanmu, bukan pada kesalahan mereka.

Dengan cara ini, kamu tidak sedang tunduk. Kamu sedang memilih menjadi dewasa. Dan ketenangan seperti ini, justru bisa menjadi sinyal bahwa kamu bukan orang yang bisa dipermainkan.

3. Jangan Jadikan Luka sebagai Label

Luka itu peristiwa yang tidak menetap selamanya.

Orang yang menyakitimu bisa saja datang dari keluarga, pertemanan, atau pasangan. Tapi sekeras apa pun dampaknya, Sahabat Fimela, jangan biarkan itu menjadi definisi dirimu. Kamu lebih dari sekadar seseorang yang ‘selalu disakiti’.

Kadang, tanpa sadar, seseorang mengulang luka yang sama karena menganggap dirinya pantas menerimanya. Trauma dibungkus dalam bentuk loyalitas. Tapi kamu bukan seseorang yang hidup untuk menahan semua beban dari orang lain.

Ganti narasinya. Alih-alih berkata, “Aku selalu jadi korban,” ubahlah menjadi, “Aku sedang belajar menjaga diriku sendiri.” Ketika kamu berhenti meromantisasi rasa sakit, kamu akan menemukan bahwa kekuatan sejati bukan berasal dari seberapa banyak luka yang kamu tahan, melainkan seberapa jujur kamu menjaga harga dirimu sendiri.

4. Bedakan Niat dan Dampak

Tak semua niat baik menghasilkan dampak baik.

Sahabat Fimela, salah satu sikap cerdas adalah mampu memisahkan antara apa yang dimaksud dan apa yang dirasakan. Ada orang yang melukai karena tidak tahu, bukan karena ingin. Tapi tetap, efeknya nyata. Dan kamu berhak merasa sakit meski pelakunya merasa “hanya bercanda.”

Berhati-hatilah dengan kalimat seperti, “Kamu baper banget sih.” Itu adalah cara halus menyepelekan emosimu. Jika kamu terus membiarkannya, kamu sedang mengamini bahwa perasaanmu tidak valid.

Penting untuk tetap adil, tapi bukan berarti mengorbankan dirimu demi memahami orang lain. Kamu bisa memahami alasan mereka, tetapi kamu juga bisa memilih untuk tidak berada terlalu dekat. Ini bukan bentuk kebencian, ini bentuk perlindungan.

5. Tak Semua Orang Layak Diberi Kesempatan Kedua

Maaf itu mulia, tapi tak boleh disalahgunakan.

Kamu tidak harus jadi malaikat agar diakui sebagai orang baik. Memberi kesempatan kedua bukanlah kewajiban, terlebih jika kesempatan pertama sudah digunakan untuk menyakitimu dengan sadar. Sahabat Fimela, berhati besar tidak berarti membuka jalan untuk dilukai berulang kali.

Kadang kita terjebak dalam kalimat, “Dia pasti berubah.” Padahal kenyataan sering kali berkata sebaliknya. Jangan takut terlihat dingin hanya karena kamu memilih untuk berhenti berharap dari orang yang sama.

Pilihlah kelegaan jangka panjang daripada kenyamanan sesaat. Karena hati yang terlalu sering dikhianati lama-lama akan menjadi rumah yang tidak nyaman, bahkan untuk dirimu sendiri.

6. Perkuat Dirimu Terlebih Dulu

Sembuhkan diri sebelum menyelamatkan hubungan.

Fokus utama bukan membenahi orang yang menyakitimu, tapi membangun versi dirimu yang lebih kuat dan tak mudah tergores. Sahabat Fimela, terlalu sering kita sibuk mencari solusi dalam hubungan, tapi lupa bahwa kekuatan personal adalah fondasi dari semua itu.

Mulailah dengan kebiasaan kecil yang memperkuat identitasmu. Kembali menulis jurnal, merapikan ruang pribadi, memperluas pergaulan, atau belajar hal baru yang membuatmu merasa berdaya. Ketika kamu mulai merasa cukup dengan dirimu, kata-kata menyakitkan tidak akan lagi punya kuasa besar.

Dari sana, jika kamu memilih untuk membangun jembatan kembali, setidaknya kamu berdiri dari tempat yang utuh. Tidak lagi sebagai seseorang yang bergantung, tetapi sebagai individu yang tahu kapan memberi dan kapan berhenti.

7. Tahu Kapan Harus Pergi

Kadang, pergi adalah cara mencintai diri.

Ada saatnya kamu tidak perlu berkata apa pun. Tidak perlu penjelasan panjang. Hanya tindakan sederhana: menjauh. Saat semua upaya baikmu tak digubris, saat luka tak lagi terobati oleh klarifikasi, Sahabat Fimela, itu tandanya kamu sudah selesai di situ.

Pergi bukan kalah. Pergi justru kadang merupakan keberanian tertinggi. Bukan karena menyerah, tapi karena kamu memilih untuk menyelamatkan dirimu. Kamu tidak perlu menunggu momen dramatis untuk itu. Kamu hanya perlu keyakinan bahwa hidupmu layak diisi oleh orang-orang yang tidak menjadikanmu target emosional.

Jangan takut kehilangan orang yang tidak takut menyakitimu. Sebab yang benar-benar peduli, tidak akan membuatmu merasa rendah agar dirinya tampak tinggi.

Sahabat Fimela, kamu bukan tempat sampah untuk menampung toksisitas orang lain. Sikapmu, ketegasanmu, dan cara kamu melindungi dirimu sendiri adalah bentuk cinta paling jujur yang bisa kamu berikan pada diri. Jadi, daripada sibuk bertanya mengapa orang itu terus menyakitimu, mulailah bertanya: sampai kapan kamu ingin terus terluka?

Dan ketika kamu sudah bisa berdiri tegak tanpa perlu bersandar pada validasi dari mereka yang menyakitimu—di situlah kamu benar-benar menang.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Endah Wijayanti
Read Entire Article
Lifestyle | Fashion|