7 Tanda Orang Suka Gaya Hidup Mewah padahal Keuangannya Bermasalah

1 day ago 8

Fimela.com, Jakarta Ada fenomena menarik yang kerap terlewatkan dalam percakapan tentang keuangan dan gaya hidup: keinginan tampil mewah justru muncul paling kuat saat dompet sedang tipis-tipisnya. Di balik feed media sosial yang tampak glamor, tidak sedikit orang yang sebenarnya sedang berjuang keras menutupi realitas finansial yang rapuh. Gaya hidup yang tampaknya gemerlap itu kadang bukan cerminan dari kesejahteraan, melainkan pelarian dari tekanan hidup.

Sahabat Fimela, ironisnya, justru saat seseorang merasa kehilangan kontrol atas keuangannya, ia bisa terdorong untuk menampilkan kesan sebaliknya—seolah hidupnya baik-baik saja, bahkan lebih dari cukup. Bukan sekadar konsumtif, tetapi sudah masuk ke fase di mana citra lebih penting daripada keberlangsungan. Berikut tujuh tanda bahwa seseorang mungkin sedang menjalani gaya hidup mewah di atas pondasi keuangan yang sebenarnya tidak kuat.

1. Lebih Sering Mencicil untuk Hal Tak Penting

Sahabat Fimela, mencicil memang bukan dosa. Tapi, jika cicilan ditujukan untuk barang-barang bermerek yang sebenarnya tidak mendesak, di situlah alarm kewaspadaan perlu dibunyikan. Tas mewah, gadget terbaru, atau sepatu eksklusif seringkali dibeli bukan karena kebutuhan, tetapi demi gengsi yang tak sebanding dengan kondisi finansialnya.

Yang menarik, perilaku ini tidak selalu dilakukan dengan sadar. Ada dorongan psikologis yang disebut status anxiety—kecemasan karena merasa tertinggal secara sosial. Membeli kemewahan secara cicilan menjadi cara instan untuk merasa ‘setara’ dengan lingkungan. Padahal, cicilan yang menumpuk bisa menjadi sumber stres jangka panjang yang justru membuat kehidupan makin sulit.

Ketika seseorang menomorsatukan penampilan luar ketimbang kestabilan keuangan dalam, ia sedang menanam benih masalah yang tumbuh perlahan. Sikap ini bisa membuatnya terjebak dalam siklus gaya hidup yang tidak sepadan dengan kemampuannya.

2. Aktif Membagikan Kemewahan tapi Enggan Bahas Finansial 

Seseorang yang senang membagikan pengalaman makan di restoran bintang lima, staycation di hotel mewah, atau koleksi barang bermerek di media sosial—namun selalu menghindar jika diajak bicara soal perencanaan keuangan—perlu dicermati lebih dalam. Sahabat Fimela, ini bisa jadi bentuk pertahanan diri agar dunia tidak tahu soal kondisi finansialnya yang sebenarnya genting.

Fenomena ini seringkali tidak tampak sebagai masalah di permukaan. Justru tampak seperti pencapaian. Namun, jika ditelusuri, seringkali ada kekosongan finansial yang ditutupi dengan pencitraan. Gaya hidup terlihat seperti puncak gunung es—di bawahnya tersembunyi beban yang membeku dan makin berat.

Menghindari obrolan tentang utang, tabungan, atau bahkan dana darurat, adalah upaya tidak sadar untuk memisahkan antara realitas dan citra. Padahal, keberanian untuk membicarakan keuangan justru tanda bahwa seseorang punya hubungan yang sehat dengan uang.

3. Sering Terjebak FOMO Gaya Hidup Teman 

Bukan karena ingin, tapi karena takut tertinggal. Sahabat Fimela, itulah yang mendorong seseorang memaksakan diri ikut nongkrong di tempat mahal, beli barang yang sedang tren, atau liburan hanya karena semua teman melakukannya. Ini bukan soal kesenangan, melainkan reaksi terhadap tekanan sosial yang tidak disadari.

FOMO (fear of missing out) dalam konteks ini bukan sekadar keinginan untuk ikut serta, tapi dorongan untuk membuktikan diri—bahwa ia masih relevan, masih ‘nyambung’, dan tidak kalah dalam persaingan gaya hidup. Sayangnya, hal ini sering dibayar mahal, bukan dalam bentuk uang saja, tetapi juga ketenangan batin.

Jika gaya hidup dibentuk oleh standar orang lain, maka keuangan pun akan terombang-ambing oleh ekspektasi luar. Alih-alih menemukan kenyamanan, seseorang justru makin jauh dari versi dirinya yang jujur dan realistis.

4. Prioritas Belanja Tak Sejalan dengan Kebutuhan 

Ketika seseorang lebih mudah mengeluarkan uang untuk keperluan kosmetik mahal ketimbang asuransi kesehatan, atau lebih sering belanja fashion daripada menyisihkan untuk dana pensiun, itu bukan hanya soal selera—itu cermin dari orientasi jangka pendek yang rapuh.

Sahabat Fimela, ada ketimpangan antara apa yang dibeli dan apa yang benar-benar diperlukan. Ini bukan karena tidak tahu, tetapi karena keinginan tampil ‘berkelas’ lebih kuat dibanding logika perencanaan masa depan. Efeknya bisa terasa saat ada kejadian darurat—seseorang yang tampak makmur di luar, tiba-tiba kelabakan karena tidak punya cadangan keuangan.

Gaya hidup mewah tidak salah. Tapi ketika prioritas hidup diatur hanya untuk mempertahankan citra, maka seseorang telah mengorbankan keamanan untuk ilusi. Dan ilusi itu bisa sangat mahal harganya.

5. Mengukur Kebahagiaan dari Apresiasi Orang Lain 

Sahabat Fimela, saat seseorang hanya merasa berhasil jika unggahannya mendapat banyak pujian, atau saat ia baru merasa bahagia ketika gaya hidupnya dikagumi, maka ia sedang menggantungkan nilai dirinya pada validasi eksternal. Ini bukan tentang menikmati hidup, tapi tentang membuktikan sesuatu—yang sering kali tidak nyata.

Gaya hidup mewah dijadikan alat untuk mencari pengakuan. Padahal, pengakuan yang didasari kesan semu tidak akan pernah cukup. Akan selalu ada kekosongan yang menuntut diisi lagi dan lagi. Ini adalah perangkap psikologis yang tidak terlihat, tapi menyedot banyak energi emosional dan finansial.

Lebih parahnya lagi, jika pengakuan itu hilang—misalnya, tidak ada respons dari lingkungan—maka seseorang bisa merasa gagal, tak berarti. Di sinilah akar masalahnya: saat gaya hidup mewah menjadi pengganti rasa percaya diri yang hilang.

6. Sering Menunda Kewajiban Finansial demi Gaya Hidup 

Ada yang selalu bayar minimum tagihan kartu kredit karena uangnya habis duluan untuk makan di tempat fancy. Ada juga yang rela menunggak iuran BPJS demi bisa beli outfit terkini. Sahabat Fimela, ketika kewajiban finansial diabaikan demi mempertahankan gaya hidup, itu tanda bahwa arah hidup sedang melenceng dari jalur yang sehat.

Penundaan ini seringkali dibungkus dengan pembenaran: “nanti bisa dicicil”, “biar mood bagus dulu”, atau “yang penting kelihatan happy.” Padahal, yang ditunda bukan hanya pembayaran, tapi juga masa depan. Utang dan tanggungan akan tetap ada, dan bahkan bisa membesar seiring waktu.

Saat seseorang terus menerus mengorbankan hal-hal penting demi sesuatu yang sementara, ia sedang menggali jurang yang pelan-pelan membuat dirinya semakin sulit bangkit. Ini bukan soal kemampuan, tetapi soal keberanian untuk hidup apa adanya.

7. Selalu Membandingkan Diri dari Apa yang Dimiliki 

Orang yang nyaman secara finansial biasanya tidak merasa perlu membandingkan dirinya dengan orang lain. Tapi Sahabat Fimela, saat seseorang terus-menerus melihat dirinya lebih rendah karena tidak punya mobil tertentu, jam tangan tertentu, atau tidak makan di restoran tertentu, itu pertanda bahwa rasa cukup belum tumbuh.

Membandingkan diri dari sisi materi akan selalu berakhir pada ketidakpuasan. Akan selalu ada yang lebih, dan akan selalu ada alasan untuk merasa tertinggal. Maka gaya hidup mewah pun jadi kompensasi. Bukan karena dibutuhkan, tetapi karena ingin menyaingi standar yang tidak pernah jelas batasnya.

Di titik ini, seseorang tak sadar sedang berjalan menjauh dari keseimbangan. Dan ketika keuangan mulai kewalahan, ia pun bingung kenapa hidup terasa semakin berat, padahal dari luar tampak bersinar.

Menutup Realitas dengan Kemewahan Tidak Pernah Menghilangkan Beban

Sahabat Fimela, penting diingat bahwa gaya hidup mewah tidak salah, selama sesuai dengan kemampuan. Tapi ketika kemewahan menjadi pelarian dari kenyataan finansial, maka hidup justru kehilangan kendali. Jauh lebih berkelas orang yang bisa hidup jujur, realistis, dan tetap elegan dengan caranya sendiri.

Mewah bukan tentang harga, tapi tentang ketenangan. Dan ketenangan sejati tidak datang dari pujian orang, melainkan dari kemampuan untuk hidup selaras antara kenyataan dan pilihan yang kita buat. Jangan biarkan citra mengalahkan keberanian untuk hidup lebih bijak.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Endah Wijayanti
Read Entire Article
Lifestyle | Fashion|