Di sebuah dusun kecil yang nyaris tak dikenal oleh dunia luar, kehidupan mengalir dengan cara yang sederhana, tetapi juga penuh ironi. Alamnya subur dengan ragam jenis hewan yang hidup dengan bebasa dan lepas, tetapi rakyatnya miskin. Masyarakatnya bersahaja, tetapi tak lepas dari jerat takhayul dan tradisi yang mengekang.
Dusun itu bernama Dukuh Paruk. Tak ada listrik, tak ada buku, dan pendidikan bukan bagian dari mimpi mereka. Tapi justru di tempat terpencil inilah sebuah kisah menggugah hati bermula, tentang seorang perempuan muda yang hidupnya dipertaruhkan demi sebuah gelar: ronggeng.
Perempuan itu bernama Srintil. Gadis yang sejak kecil sudah menyimpan keistimewaan dalam dirinya. Orang-orang di Dukuh Paruk percaya bahwa ronggeng bukan sekadar penari, melainkan wakil budaya, titisan leluhur, simbol kehidupan desa. Sayangnya, di balik semua kemuliaan itu, tersembunyi harga yang harus dibayar mahal: pengorbanan tubuh, perasaan, dan mimpi.
Srintil sejak awal tidak benar-benar punya pilihan. Ketika gejolak masa lalu Dukuh Paruk menuntut kelahiran kembali sang ronggeng, Srintil yang baru remaja tiba-tiba diposisikan sebagai harapan.
Tak peduli bahwa hatinya belum siap, bahwa ia memiliki cinta yang belum sempat tumbuh sempurna untuk Rasus, sahabat masa kecilnya. Dalam sekejap, Srintil berubah dari gadis lugu menjadi pusat perhatian, menjadi milik bersama, menjadi seseorang yang harus memberikan dirinya demi adat.
Kisah Srintil tak hanya mengungkap perjalanannya menjadi ronggeng. Ada cermin dari bagaimana tubuh perempuan bisa dijadikan simbol, dirayakan sekaligus dikorbankan.
Srintil menari bukan karena ia ingin, tetapi karena dusunnya menghendaki. Dipuja dan diistimewakan karena kecantikannya, dielu-elukan karena tariannya, tetapi pada akhirnya Srintil sendiri yang harus menanggung luka dan kehampaan karena semua itu. Menjadi ronggeng membuatnya malah kehilangan dirinya sendiri.
Rasus, satu-satunya orang yang mencintai Srintil dengan tulus, justru tak kuasa menyelamatkannya. Ia justru memilih pergi, meninggalkan Dukuh Paruk demi mengejar masa depan yang lebih pasti sebagai seorang prajurit. Tapi kepergiannya bukan tanpa alasan. Rasus tak sanggup melihat Srintil menyerahkan tubuhnya kepada banyak lelaki. Bagi Rasus, Srintil bukan milik siapa pun, melainkan perempuan yang seharusnya bisa bermimpi, bukan hanya menari untuk menghibur.
Yang menjadikan kisah ini lebih menyentuh adalah kehadiran sejarah. Di tengah gejolak politik tahun 1965, saat kekuasaan bergeser dengan cara yang kejam, masyarakat kecil seperti Dukuh Paruk menjadi korban. Mereka yang tak paham politik tiba-tiba dituduh terlibat.
Srintil, bersama rombongan penari dan pengiringnya, ditangkap tanpa tahu mengapa. Ketika yang dilakuaknnya hanya menari dan bernyanyi, kini dijebloskan ke penjara, dituduh bersalah tanpa diberi kesempatan membela diri.
Novel ini tidak hanya bercerita tentang cinta yang gagal dan tradisi yang menekan, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan bisa menghancurkan hidup seseorang yang bahkan tidak mengerti permainan kekuasaan itu sendiri. Srintil tak pernah tahu agenda-agenda politik yang dimiliki kalangan-kalangan berbeda. Tapi ia tahu, dirinya telah dihakimi, ditelanjangi martabatnya, dan dilupakan.
Lalu apa yang membuat kisah ini begitu menggugah dan layak dibaca? Bukan semata-mata karena jalan ceritanya yang dramatis. Bukan pula karena setting desa yang unik. Tapi karena gaya bertutur Ahmad Tohari yang begitu lembut, puitis, dan penuh kepekaan. Kita sebagai pembaca akan ikut merasakan dilema, luka, dan harapan yang tumbuh perlahan. Bahkan saat Srintil menghadapi ragam problema dan gejolak kehidupan, ada hal-hal yang membuat kita ikut terhanyut dan membuat kita makin erat dengan setiap relung dan celah kehidupannya.
Novel ini juga menyajikan potret sosial yang kaya. Tentang bagaimana perempuan seringkali tidak punya ruang memilih. Tentang cinta yang kalah oleh adat. Tentang tradisi yang menindas dalam nama kehormatan. Tentang negara yang abai terhadap rakyat kecil. Dan yang paling penting: tentang kekuatan untuk bertahan, bahkan saat segalanya terasa hancur.
Srintil mungkin bukan tokoh sempurna. Namun, karakternya digambarkan dan dihadirkan sebagai pribadi yang tak pernah menyerah, meskipun pernah salah dan pernah jatuh terlalu dalam. Dirinya juga perempuan yang terus berusaha menemukan makna hidup.
Setelah bebas dari penjara, ada lembaran baru yang ingin diusahakannya. Sayangnya, masyarakat tak memberinya kesempatan.
Satu hal yang paling menyentuh dari cerita ini adalah kesendirian Srintil. Di tengah hiruk-pikuk panggung, di balik gemerlap tari dan musik calung, Srintil hanyalah seorang gadis yang rindu dicintai dengan tulus.
Mungkin saja banyak dari kita yang pernah merasa ingin dicintai dan dirindukan dengan hati yang tulus. Srintil dikelilingi banyak orang, tetapi kesepian. Seiring waktu berjalan dia merasa tidak benar-benar dipahami meskipun orang-orang masih kerap bermulut manis di depannya.
Novel ini menghadirkan ruang untuk merenung, tentang betapa pentingnya memberi ruang bagi perempuan untuk memilih jalannya sendiri. Tentang bagaimana cinta seharusnya menjadi perlindungan, bukan alat kuasa. Serta, tentang bagaimana tradisi seharusnya ditinjau ulang, agar tidak menjadi alat kekerasan yang dibungkus dalam nama budaya.
Ada cinta yang tak bisa dimiliki karena keadaan dan pilihan hidup. Bahwa ada peran yang dipaksakan, dan ada luka yang terus menganga meski waktu berjalan. Pahit dan getir. Harapan bisa menjadi lentera untuk melanjutkan hidup meskipun realitas tak selalu seindah yang dibayangkan.
Membaca kisah dalam novel ini seperti menyelami hidup dari balik tirai panggung yang tak pernah kita tahu sebelumnya. Kita diajak melihat dunia dari sudut seorang ronggeng, bukan sebagai objek eksotisme, tetapi sebagai manusia seutuhnya. Ketika membaca novel ini, kita akan turut merasakan pengalaman seperti membaca puisi panjang tentang luka, tentang harapan, dan tentang kekuatan perempuan yang luar biasa.
Bagi siapa pun yang ingin membaca novel yang tidak hanya menyentuh hati tapi juga menggugah pikiran, karya ini adalah pilihan yang tak boleh dilewatkan. Ada keindahan dalam kesedihan, tetapi juga ada makna dalam setiap luka. Sebuah karya sastra Indonesia yang tak hanya layak dibaca, tapi juga direnungi dan dibicarakan dari generasi ke generasi.