Busy Broke: Kerja Tiada Henti, tetapi Kantong Tetap Sepi

1 month ago 47

Fimela.com, Jakarta Pagi belum benar-benar terang, tapi notifikasi pekerjaan sudah berdering. Malam pun tiba, tubuh lelah, pikiran penuh, tetapi dompet tetap tasa tipis dan tidak menggemuk juga. Saldo pun tak kunjung bertambah. Inilah realitas busy broke, yaitu saat seseorang tenggelam dalam pekerjaan, tetapi dana darurat dan tabungan tidak tersiapkan dengan baik. Bukan karena malas atau tidak berusaha, melainkan karena ada jebakan sistem dan gaya hidup yang terasa makin berat dari waktu ke waktu disertai dengan makin banyaknya tekanan dan tuntutan sosial.

Fenomena ini jauh dari sekadar “kurang pintar mengatur uang”. Studi BrightPlan (2023) menunjukkan 92% pekerja mengalami stres finansial, menurunkan produktivitas rata-rata setara satu hari kerja per minggu.

Bahkan di Amerika Serikat, kerugian bisnis akibat stres finansial diperkirakan hampir US$200 miliar per tahun. Dan yang paling terdampak adalah Gen Z, yaitu 86% di antaranya kehilangan lebih dari 8 jam produktivitas setiap minggu hanya karena memikirkan uang. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret kehidupan di sekitar kita hari ini.

1. Keseharian Sibuk yang Terlihat Seakan sebagai Kemajuan

Kesibukan sering dipuji sebagai tanda kemajuan karier. Jadwal padat, panggilan tak henti, rapat maraton, semua terlihat seperti bukti kesuksesan. Hanya saja di balik layar, kesibukan itu bisa menutupi fakta bahwa pendapatan dan pengeluaran tidak pernah selaras.

Fenomena time poverty membuat seseorang tidak sempat meninjau anggaran atau mengevaluasi tujuan finansial. Alih-alih mengatur uang, semua energi habis untuk mengejar tenggat waktu. Akhirnya, uang yang masuk dan keluar berjalan tanpa kendali, seakan otomatis.

Ironisnya, banyak yang merasa semakin sibuk berarti semakin dekat pada stabilitas finansial. Padahal, jika tidak diimbangi dengan strategi pengelolaan uang, kesibukan justru menjadi kabut yang menutupi potensi kebocoran keuangan.

2. Lifestyle Creep: Pendapatan Naik, Pengeluaran Ikut Meroket

Begitu gaji naik, muncul godaan untuk meningkatkan gaya hidup: makan di restoran lebih mahal, berlangganan layanan premium, atau membeli gadget terbaru.

Fenomena ini disebut lifestyle creep, dan tanpa disadari bisa memengaruhi kenaikan pendapatan yang diperjuangkan dengan kerja keras. Gaji naik, gaya hidup ikut naik, dan kesejahteraan yang dikejar makin sulit dicapai.

Sahabat Fimela, lifestyle creep jarang terasa sebagai masalah di awal. Justru, kebiasaan ini sering dibungkus dalam narasi “menghargai diri sendiri”. Masalahnya, ketika pengeluaran rutin naik, ruang untuk menabung atau berinvestasi menghilang.

Jika digabungkan dengan time poverty, situasi ini berbahaya. Tidak ada waktu untuk mengevaluasi keuangan, sementara biaya hidup naik. Akibatnya, meski terlihat mapan dari luar, kondisi finansial tetap rapuh dari dalam.

3. Ketika Produktivitas Ikut Menurun karena Stres Uang

Stres finansial bukan sekadar memengaruhi isi dompet—ia merusak kinerja otak. Studi BrightPlan 2023 dan 2024 menemukan, kehilangan produktivitas akibat pikiran tentang uang setara satu hari kerja per minggu. Bagi Gen Z, angkanya bahkan lebih parah.

Bayangkan, tubuh ada di meja kerja, tetapi pikiran sibuk menghitung tagihan, cicilan, dan biaya tak terduga. Fokus menurun, kualitas kerja merosot, dan peluang promosi pun menjauh. Stres ini juga merembet ke hubungan sosial, membuat interaksi dengan keluarga dan teman menjadi tegang.

Kondisi ini menciptakan lingkaran setan: stres membuat produktivitas turun, produktivitas turun membuat peluang pendapatan melemah, dan pendapatan yang stagnan membuat stres semakin besar. Memang berat ya menjalani realitas kehidupan di masa sekarang.

4. Ilusi Gaji ke Gaji di Dunia Modern

Survei internasional menunjukkan 45–62% orang dewasa di negara maju masih hidup dari gaji ke gaji. Fakta ini bisa dibilang mengejutkan, mengingat sebagian dari mereka memiliki pekerjaan bergaji baik. Fenomena ini semakin relevan di kota-kota besar, termasuk di Indonesia.

Hidup paycheck to paycheck bukan hanya tentang nominal gaji yang kurang. Sering kali, akar masalahnya ada pada minimnya perencanaan keuangan, kebiasaan konsumsi berlebihan, dan beban utang yang tidak terkendali.

Yang membuatnya lebih rumit, budaya kerja modern sering mengagungkan kecepatan dan output, bukan kualitas hidup atau stabilitas keuangan. Memang ada banyak orang merasa harus terus berlari, tetapi tetap di tempat yang sama secara finansial.

5. Strategi Menebus Waktu yang Hilang

Mengatasi Busy Broke tidak cukup dengan bekerja lebih keras. Justru, kuncinya ada pada mengalokasikan waktu untuk merancang hidup finansial. Salah satu langkah awal adalah time blocking—menjadwalkan waktu khusus, meski hanya 30 menit per minggu, untuk meninjau pengeluaran, menabung, dan merencanakan investasi.

Gunakan teknologi untuk membantu rutinitas dan keseharian kita. Aplikasi pengelola keuangan bisa otomatis melacak pemasukan dan pengeluaran, sehingga kita tidak perlu mencatat manual. Dengan data yang rapi dan lebih terukur, keputusan keuangan akan lebih objektif.

Selain itu, tentukan batas untuk pekerjaan. Produktivitas yang sehat memberi ruang untuk berpikir jernih tentang keuangan. Waktu luang yang berkualitas justru bisa menjadi investasi tak langsung bagi kesejahteraan finansial.

6. Mengendalikan Hasrat Konsumsi di Era Serba Instan

Era digital memudahkan pembelian hanya dengan satu sentuhan. Diskon kilat, iklan personal, dan konten gaya hidup di media sosial mempercepat lifestyle creep. Untuk melawannya, dibutuhkan disiplin konsumsi.

Kita bisa mencoba metode delayed gratification: tunggu 24 jam sebelum membeli barang yang tidak mendesak. Sering kali, keinginan itu akan menguap dengan sendirinya.

Selain itu, alokasikan kenaikan pendapatan untuk tabungan atau investasi terlebih dahulu sebelum digunakan untuk konsumsi. Dengan begitu, setiap kemajuan karier benar-benar meningkatkan kualitas hidup jangka panjang, bukan sekadar memuaskan ego sesaat.

7. Memutus Rantai Busy Broke demi Hidup yang Lebih Sejahtera

Busy Broke bisa menjadi pengingat bahwa kesibukan tidak otomatis membawa kemakmuran bila tidak disikapi dengan persiapan dan perencanaan yang matang.

Jika Sahabat Fimela ingin keluar dari siklus ini, salah satu langkahnya adalah mengubah kesibukan menjadi kesadaran. Maksudnya? Kesadaran bahwa waktu, tenaga, dan uang adalah sumber daya yang saling terkait.

Mulailah dengan mengukur dan menata kembali kondisi keuangan. Tetapkan tujuan finansial yang realistis dan ukur kemajuannya secara berkala. Luangkan waktu untuk mempelajari strategi keuangan, meski sedikit demi sedikit.

Mudah untuk bilang bahwa yang dibutuhkan bukan hanya kerja keras, tapi juga kerja cerdas. Walaupun realitasnya tidak selalu mudah seperti itu.

Terlebih kondisi dan situasi masing-masing orang jelas berbeda satu sama lain. Hanya saja selalu ada pilihan untuk bisa mengusahakan kehidupan jadi lebih baik lagi.

Dengan keseimbangan antara produktivitas dan perencanaan, kita bisa memiliki hidup yang produktif, sekaligus sejahtera secara finansial, sosial, dan emosional.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Endah Wijayanti
Read Entire Article
Lifestyle | Fashion|