Review Novel Unfinished Goodbye: Ternyata Kita Belum Seselesai Itu

6 hours ago 3

Judul: Unfinished Goodbye: Ternyata Kita Belum Seselesai Itu

Penulis: Syahid Muhammad

Penyunting: Jia Effendie

Penyelaras Aksara: Tri Prasetyo, Fatwa Aulia Sudrajat

Ilustrator: Agris

Penerbit: Gradien Mediatama

Cetakan Kedua, Desember 2024

***

Jika seseorang tiba-tiba menghilang, berarti ia sedang menangis di tempat lain. Kemungkinanannya ada dua. Dia tidak ingin air matanya membasahi orang-orang yang biasa ia temui, atau justru orang-orang itu adalah ibu dari semua air matanya. (hlm. 35)

Tubuhnya lupa caranya membutuhkan orang lain. Bahkan ia tidak tahu rasanya punya kerinduan pada orang tuanya sendiri. (hlm. 45)

Dalam ketidakpastian, yang dibutuhkan bukan keyakinan akan hasil, tapi keyakinan bahwa ia akan bekerja keras menghadapi prosesnya. (hlm. 48)

Wisata tak pernah memulihkan apa pun selain distraksi yang terlalu cepat dianggap sebagai kesembuhan. (hlm. 73)

Hubungan baik dengan manusia lain, membangun hubungan baik juga dengan diri sendiri, yang akhirnya saling membangun. (hlm. 88)

Kita menatap Tuhan dengan mata yang tertutup luka, sedang Tuhan menyambut kita dengan takdir yang terbuka. (hlm. 116)

... setiap orang punya satu musuh terbesar dalam dirinya sendiri. Sebuah perasaan yang menggerogotinya dari dalam. Mereka akan melakukan apa pun untuk menghilangkannya. Bisa dengan penebusan, distraksi, atau berdamai dengan hal itu. (hlm. 123)

***

Ranu Anggara digambarkan sebagai seorang psikolog yang kerap menolong orang lain melewati masa sulit. Tapi ironisnya, ia sendiri terjebak dalam konflik batin yang tak pernah ia selesaikan.

Ranu menyimpan banyak keraguan, menyembunyikan rasa takut, dan lebih memilih menghindar daripada menghadapi kenyataan. Ketika luka yang dibawa seseorang begitu dalam, kedewasaan emosional seseorang benar-benar akan diuji dengan cara yang cukup berat.

Kehidupan Ranu berubah saat sahabat dekatnya, Sabrina, meninggal dunia secara mendadak. Bukan hanya kehilangan yang menghantamnya, tetapi juga rasa bersalah yang menyesakkan. Ada perasaan dan persoalan yang rasanya belum selesai, dan membuat Ranu mengambil sebuah keputusan besar.

Di titik itu, Ranu merasa perlu menebus semuanya dengan melakukan perjalanan ke Kazakhstan untuk menemui Damira, sahabat lama Sabrina. Tujuannya bukan hanya menyampaikan kabar duka, melainkan secara tidak sadar ia ingin mencari pembenaran untuk menyalahkan dirinya sendiri.

Perjalanan Ranu ke Almaty terasa seperti bentuk pelarian sekaligus pencarian. Dengan hanya bermodal kartu pos yang pernah dikirimkan Sabrina, Ranu menjelajahi kota asing yang dingin dan penuh misteri.

Kita diajak mengikuti setiap langkahnya menyusuri toko roti yang tertera di foto, bertanya pada orang-orang asing, dan mencoba meraba jejak sahabatnya lewat cerita-cerita yang tersisa.

Dalam pencarian itulah, kita menyadari bahwa yang Ranu cari sesungguhnya bukan Damira, tapi kejujuran dan keberanian untuk menghadapi dirinya sendiri.

Alur cerita dalam novel ini berjalan perlahan, tapi penuh makna. Kota Almaty digambarkan dengan detail yang cermat, seakan-akan kita juga mengikuti setiap langkah perjalanan yang dilakukan oleh Ranu.

Kita bisa membayangkan suasana musim dingin, aroma kopi dari toko roti, hingga suasana hangat yang perlahan-lahan menyembuhkan luka Ranu. Melui narasi yang terasa begitu personal, kita seakan ikut berjalan di samping Ranu, menyaksikan proses pemulihan dirinya.

Yang menarik, dalam perjalanannya, Ranu mulai membuka diri pada orang-orang baru. Salah satunya adalah Janelle, seorang barista di toko roti yang ternyata menjadi teman bicara yang berarti.

Janelle hadir sebagai karakter yang kuat, tegas, dan penuh empati. Selain menjadi pendengar yang baik bagi Ranu, Janelle juga menyuarakan kebenaran yang Ranu butuhkan.

Kita bisa belajar banyak dari sosok Janelle tentang bagaimana cara mendukung seseorang yang sedang terluka tanpa harus memaksakan solusi. Ada empati yang begitu kuat dari sosok Janelle tiap kali melakukan suatu percakapan atau mengurai sebuah persoalan. Lewat dukungan Janelle, kita menyadari bahwa dalam proses penyembuhan, kehadiran satu orang yang benar-benar memahami bisa sangat berarti.

***

Setiap orang menderita dengan wajahnya masing-masing, dan kadang, manusia lebih percaya wajah ketimbang apa yang sedang manusia itu bungkus dengan mimik di wajahnya. (hlm. 148)

Aku terlalu sibuk dengan peperanganku sendiri selama ini, sampai tidak sadar orang yang mengasihiku dengan tepat justru terluka paling dalam... (hlm. 153)

Tidak tahu kenapa aku merasa bisa melihat jiwanya, kalau Ranu hanya pria kesepian yang terlalu berusaha jadi orang baik. (hlm. 165)

Ia ditunggangi anak kecil yang tak pernah mendapat kasih yang layak, yang sejak kecil dipaksa dewasa. Ternyata anak kecil itu masih terus mengekangnya, terus menuntut haknya hingga dewasa. (hlm. 168)

Apa kita semua rangkaian tragedi yang saling bertukar peran dan pesan, demi saling membangun arti dari setiap keputusan. (hlm. 172)

Hanya karena kau tahu caranya, tidak berarti prosesmu jadi lebih cepat. Kau pasti punya prosesmu sendiri. Siapa tahu, gara-gara kau merasa tahu semuanya, itu malah memperlambatmu. (hlm. 177)

Manusia-manusia yang sama-sama dalam perjalanan, yang sama-sama tahu bahwa perjumpaan mereka hanya sementara, dan seperti sudah tahu kalau mereka terlatih untuk banyak pertemuan sekaligus perpisahan tanpa berandai-andai semuanya bisa berlangsung selamanya. (hlm. 199)

***

Novel ini juga menyoroti sisi gelap pertemanan dewasa. Ejekan dan candaan yang berlebihan dari teman-teman Ranu terhadap hubungannya dengan Sabrina menjadi pemicu luka yang semakin dalam.

Tidak semua pertemanan bisa membawa dampak positif, dan kadang, justru dari orang-orang terdekatlah luka terbesar berasal. Keberanian Ranu untuk menjauh dari lingkaran toksik itu menjadi pelajaran penting tentang menjaga kesehatan mental kita.

Trauma masa kecil khususnya yang disebabkan oleh orangtua memang akan terus melekat hingga dewasa. Tidak mudah untuk menyembuhkan trauma seperti itu, tetapi bukan berarti kita harus hidup dalam bayangan yang menyakitkan itu terus menerus. Ada momen di mana Ranu berjuang untuk bisa memulihkan dirinya dari trauma tersebut. Meskipun dalam keseharian dia bekerja menolong orang lain, tetapi ternyata dia sendiri butuh waktu dan proses yang tidak mudah untuk bisa menolong dirinya sendiri.

Bahasa dalam buku ini cukup ringan dan sarat makna, sehingga mudah dipahami tanpa kehilangan kedalaman emosinya. Narasinya mengalir yang membuat kita larut dalam setiap alur cerita. Nuansa melankolis yang menyelimuti kisahnya pun semakin memperkuat kesan menyentuh dari awal hingga akhir, meskipun mungkin di bagian tertentu akan terasa muram dan menyesakkan.

Bagi yang sedang mencari bacaan dengan genre healing fiction, novel ini bisa menjadi pilihan. Novel ini bukan hanya kisah tentang seseorang yang mencoba sembuh dari luka-luka emosional, tapi juga kisah tentang keberanian untuk berhenti pura-pura kuat. Di banyak bagian, kita akan merasa seperti sedang diajak berbicara oleh seorang teman dekat yang memahami luka kita tanpa menghakimi.

Untuk Sahabat Fimela yang sedang berada di fase reflektif, mencari makna dari sebuah kehilangan, atau tengah belajar berdamai dengan diri sendiri, Unfinished Goodbye sangat layak untuk dibaca. Novel ini memberi kita ruang untuk merasa, menangis, lalu perlahan belajar melepaskan. Sebuah novel yang tak hanya selesai di halaman terakhir, tapi terus membekas lama di dalam hati.

Read Entire Article
Lifestyle | Fashion|