Fenomena Brain Rot dan Meme Absurd: Kenapa Otak Kita Mudah Lelah di Era Digital?

11 hours ago 3

Fimela.com, Jakarta Scrolling tanpa henti. Video berdurasi 10 detik. Lelucon absurd yang tidak masuk akal, tapi entah kenapa membuatmu tertawa. Lalu jeda sejenak, merasa hampa, lalu lanjut lagi. Begitu terus. Satu jam berlalu. Dua jam. Tiga. Apa yang kamu rasakan bukan cuma bosan—tapi mungkin, ini adalah salah satu gejala brain rot.

Sahabat Fimela, istilah brain rot bukan sekadar istilah lucu-lucuan di internet. Ia adalah cerminan dari betapa padat dan cepatnya arus informasi yang masuk ke kepala kita, tanpa sempat disaring, dicerna, atau dipahami. Ibarat menonton ribuan trailer film, tanpa benar-benar menyaksikan satu cerita utuh. Otak pun kelelahan, kehilangan arah, dan pada titik tertentu... mulai memengaruhi kesehatan mental.

Mengapa Otak Jadi Gampang Lupa Setelah Main Media Sosial?

Mengutip "Demystifying the New Dilemma of Brain Rot in the Digital Era: A Review" dari laman MDPI, pada 2 Desember 2024, istilah “brain rot” dinobatkan sebagai Word of the Year oleh Oxford karena dianggap mencerminkan kondisi zaman sekarang: menurunnya kemampuan berpikir akibat terlalu banyak mengonsumsi konten online yang dangkal dan tidak menantang.

Gejalanya bisa berupa kebiasaan menatap layar berjam-jam, cemas saat jauh dari ponsel, hingga kesulitan fokus pada hal-hal yang sebenarnya penting. Meski belum diakui secara medis, fenomena ini nyata—terutama di kalangan Gen Z dan Gen Alpha yang hidup dalam dunia serba digital dan penuh dengan doomscrolling. Saat ini, lebih dari 4 miliar anak muda terkoneksi internet dan rata-rata menghabiskan 6,5 jam per hari secara pasif menyerap konten yang minim manfaat.

Fenomena ini muncul bukan karena kamu malas atau kurang produktif. Justru, karena terlalu banyak stimulus yang kamu konsumsi secara pasif. Algoritma media sosial dirancang untuk memikat perhatian, bukan memberikan makna. Ketika kamu merasa terhibur tanpa tahu apa yang sebenarnya kamu nikmati, di situlah brain rot mulai berkembang.

Manusia kini memiliki rentang perhatian rata-rata yang lebih pendek dibanding dua dekade lalu. Salah satu penyebab utamanya adalah ledakan konten digital yang dikemas secara instan dan berlebihan. Bahkan, otak pun kewalahan membedakan antara hiburan dan pelarian.

Sahabat Fimela, brain rot bukan soal kecanduan semata. Ini adalah tentang bagaimana kita kehilangan kendali atas apa yang kita konsumsi. Dan yang paling berbahaya—kita bahkan tidak sadar sedang mengalaminya.

Absurd tapi Viral: Mengapa Meme Unik dan Tidak Masuk Akal Justru Disukai?

Salah satu ciri khas era brain rot adalah munculnya konten yang secara logika tidak masuk akal, tapi justru sangat populer. Contohnya, meme tentang “babi terbang naik skateboard sambil minum kopi di tengah kehancuran dunia.” Apa yang membuatnya lucu? Tidak ada yang tahu pasti. Tapi justru itu letak sisi menarik dan uniknya.

Fenomena ini menunjukkan betapa budaya absurd menjadi pelarian dari kejenuhan realitas. Kita tidak lagi mencari makna, kita hanya ingin jeda. Meme semacam ini adalah bentuk "sindiran" terhadap hidup yang terlalu kompleks, terlalu berat untuk dihadapi secara serius.

Sahabat Fimela, hal ini bukan berarti kita tidak boleh menikmati humor absurd. Tapi jika satu-satunya hal yang bisa membuat kita tertawa hanyalah sesuatu yang makin tidak masuk akal, mungkin sudah waktunya bertanya: apakah ini masih hiburan, atau sudah menjadi gejala brain rot?

3 Tanda Kamu Butuh Jeda dari Layar, Sekarang Juga

Brain rot tidak muncul tiba-tiba. Ia hadir perlahan, menumpuk, dan mulai merusak pola pikir, emosi, hingga produktivitas. Sahabat Fimela, jika kamu mulai merasa hampa setelah scrolling atau bahkan kesulitan menikmati hal-hal sederhana di luar layar, itu bukan sekadar lelah. Itu tanda kamu butuh detoks digital.

Pertama, kamu mulai kehilangan kesabaran membaca sesuatu yang lebih dari dua paragraf. Artikel panjang, buku, bahkan chat teman yang lebih dari dua baris pun terasa melelahkan. Ini adalah tanda otakmu sudah terbiasa dengan konten cepat saji.

Kedua, kamu tidak lagi bisa fokus melakukan satu hal dalam waktu lama. Menonton film jadi terasa membosankan. Mengerjakan tugas butuh diselingi checking media sosial setiap 5 menit. Otakmu seperti ingin lari, tapi tidak tahu ke mana.

Ketiga, kamu merasa kesepian, tapi tidak punya energi untuk bersosialisasi. Dunia digital menyedot emosi, tetapi tidak pernah benar-benar mengisi. Kamu merasa ‘terhubung’, tapi sebenarnya kosong.

Tanpa Terkekang, Ini Cara Aman Menikmati Media Sosial

Detoks digital bukan berarti kamu harus menghilang total dari internet. Yang penting adalah bagaimana kamu menggunakan media sosial secara sadar, bukan pasrah dibawa arus algoritma. Sahabat Fimela, berikut beberapa cara sederhana namun efektif yang bisa dicoba:

Buat jadwal scroll. Bukan untuk menghukum diri, tapi memberi struktur pada kebiasaan. Misalnya, hanya membuka media sosial setelah menyelesaikan satu pekerjaan atau kegiatan produktif.

Konsumsi konten berkualitas. Cobalah ikuti akun-akun yang memberi insight, wawasan, atau sudut pandang baru. Humor tetap boleh, tapi seimbangkan dengan sesuatu yang memperkaya isi kepala, bukan sekadar membuatmu lupa waktu.

Beri ruang untuk hidup nyata. Bertemu teman, membaca buku fisik, menulis di jurnal, atau bahkan sekadar jalan kaki tanpa ponsel di tangan. Ini bukan aktivitas kuno—ini adalah bentuk nyata dari koneksi dengan diri sendiri.

Brain Rot adalah Gejala yang Perlu Disikapi dengan Lebih Bijaksana

Brain rot bukan kutukan yang melekat selamanya. Ia adalah sinyal bahwa tubuh, pikiran, dan perasaanmu butuh perhatian lebih. Sahabat Fimela, jangan sampai kamu mendefinisikan dirimu dari apa yang kamu lihat di media sosial. Kamu lebih dari sekadar algoritma, lebih dari sekadar feed yang menarik.

Perlu diingat bahwa tidak semua kesepian bisa diobati dengan hiburan cepat. Terkadang, justru diam sejenak dan menyadari kekosongan itulah yang menyembuhkan. Karena dari situ kamu bisa mulai memilih: apa yang mau kamu isi ke dalam hidupmu.

Menjaga kesehatan mental di era digital bukan tugas mudah. Tapi dengan kesadaran yang utuh, kamu bisa membentuk relasi baru dengan teknologi—yang bukan sekadar menghibur, tapi juga memberi makna.

Menyelamatkan Otak dari Kepenatan Digital

Brain rot bukan sesuatu yang harus kamu takutkan, tapi juga jangan disepelekan. Ia mengajarkan bahwa bahkan hiburan bisa berubah menjadi racun jika tidak dikendalikan. Keseimbangan adalah kunci. Hiburan tetap penting, tetapi bukan satu-satunya bentuk pelarian.

Sahabat Fimela, kamu tidak harus menghapus semua aplikasi media sosialmu sekarang juga. Tapi kamu bisa mulai dengan satu langkah: gunakan teknologi untuk menghidupkan, bukan mematikan jiwamu. Pilih hiburan yang mencerahkan, bukan sekadar mengalihkan. Pilih jeda, bukan pelarian. Pilih dengan kesadaran penuh, bukan hanya mengikuti arus.

Karena di tengah dunia yang semakin absurd dan cepat, ketenangan datang dari kesadaran untuk melambat. Dan dalam kelambatan itulah, kamu bisa menemukan kembali suara hatimu yang sempat tenggelam di antara scroll-scroll tak berujung.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Endah Wijayanti
Read Entire Article
Lifestyle | Fashion|