Fimela.com, Jakarta Setiap kota selalu memiliki bangunan bersejarah. Sebagai simbol dan saksi sebuah kota bertumbuh. Tak terkecuali Surabaya. Salah satu bangunan yang iconik di Surabaya terletak di jalan Gubernur Suryo. Gedung Grahadi, dari luar tampak seperti rumah besar bergaya kolonial dengan pilar kokoh, halaman hijau, dan aura wibawa yang sulit diabaikan. Namun, siapa sangka, di balik dinding-dinding putihnya, tersimpan ratusan tahun kisah yang berlapis—dari pesta para pejabat Belanda hingga doa-doa kemerdekaan.
Sabtu malam, 30 Agustus, sedikit menorehkan luka untuk gedung yang berdiri sejak abad ke-18 ini. Saat Surabaya diguncang oleh aksi demonstrasi yang berujung ricuh, Gedung Grahadi jadi salah satu yang menjadi sasaran amukan massa. Tak bisa dipungkiri, Gedung Grahadi bukan sekadar bangunan tua, melainkan simbol perjalanan panjang sejarah Surabaya dan pemerintahan Jawa Timur.
Banyak peran yang ditelusuri dari bangunan ini. Mulai dari awal berdiri, perannya setelah kemerdekaan, hingga statusnya kini yang menjadi ikon sejarah sekaligus pusat kegiatan kenegaraan di Jawa Timur.
Awal Berdiri dari Rumah Kebun Kolonial ke Simbol Kemegahan
Gedung Grahadi berdiri pada tahun 1795 atas perintah Residen Dirk Van Hogendorps, pejabat Belanda yang menjabat pada 1794–1798. Pada masa itu, kawasan tempat Grahadi berada masih berupa pinggiran kota Surabaya. Gedung ini awalnya dibangun sebagai rumah kebun untuk para pejabat kolonial, sebuah tempat peristirahatan yang menawarkan suasana tenang jauh dari hiruk pikuk pusat kota.
Arsitektur Grahadi dirancang menghadap ke utara, tepat ke arah Sungai Kalimas. Sungai ini pada akhir abad ke-18 merupakan jalur transportasi utama di Surabaya, sehingga para penghuni Grahadi bisa menyaksikan lalu lintas perahu yang melintas. Letaknya yang strategis membuat Grahadi bukan hanya sekadar rumah kebun, tetapi juga ruang untuk menjamu tamu.
Tak lama setelah berdiri, gedung ini berkembang menjadi pusat aktivitas sosial bagi kalangan elit kolonial. Pertemuan resmi, pesta dansa, hingga perjamuan besar sering digelar di sana. Seiring waktu, pada tahun 1802, orientasi bangunan diubah menghadap ke selatan, sesuai bentuk yang Sahabat Fimela lihat saat ini.
Menariknya, meski dibangun lebih dari dua abad lalu, Grahadi mampu mempertahankan keanggunan arsitekturnya. Dari pinggiran kota, kini posisinya berada tepat di jantung Surabaya, seolah menjadi saksi bisu bagaimana kota ini tumbuh menjadi metropolitan modern tanpa kehilangan jejak masa lalunya.
Setelah Kemerdekaan: Rumah Dinas Gubernur Jawa Timur
Perubahan besar terjadi setelah Indonesia merdeka. Gedung Grahadi yang dulunya menjadi simbol kekuasaan kolonial, kemudian beralih fungsi menjadi rumah dinas resmi Gubernur Jawa Timur. Peran ini membuat Grahadi tak hanya sekadar bangunan bersejarah, melainkan juga jantung pemerintahan provinsi.
Sejak saat itu, halaman Grahadi menjadi tempat diselenggarakannya berbagai acara penting kenegaraan. Mulai dari penyambutan tamu negara, pelantikan pejabat daerah, hingga upacara peringatan nasional sering digelar di sini. Keberadaan Gedung Grahadi menjembatani masa lalu kolonial dengan wajah baru pemerintahan Republik Indonesia.
Di tengah perkembangan kota yang kian pesat, Gedung Grahadi tetap dipelihara dengan penuh perhatian. Halamannya yang luas, dikelilingi taman hijau dan pepohonan rindang, menghadirkan nuansa berwibawa sekaligus sakral. Tidak berlebihan jika masyarakat Jawa Timur menjadikan Gedung Grahadi sebagai lambang kewibawaan pemerintahan Provinsi Jawa Timur.
Sebagai Lokasi Warisan Sejarah yang Dibuka untuk Publik
Memasuki dekade 1990-an, kesadaran akan pentingnya melestarikan warisan sejarah semakin menguat. Pada tahun 1991, Gedung Grahadi resmi dibuka untuk publik. Keputusan ini membuat masyarakat luas bisa mengakses bagian dalam gedung, mempelajari arsitekturnya, serta memahami kisah di baliknya.
Sejak saat itu, Gedung Grahadi tak hanya menjadi pusat pemerintahan, tetapi juga destinasi wisata sejarah. Para pelajar, peneliti, hingga wisatawan lokal dan mancanegara bisa berkunjung untuk menapaki lorong-lorong bersejarah, melihat ruang pertemuan klasik, serta merasakan atmosfer masa lalu yang masih terjaga.
Membuka Grahadi untuk publik juga menjadi langkah strategis agar generasi muda tidak melupakan akar sejarah daerahnya. Melalui program wisata sejarah, masyarakat bisa melihat langsung bagaimana warisan kolonial ini bertransformasi menjadi bagian penting dalam perjalanan bangsa.
Dibuka untuk umum, tidak menjadikan Gedung Grahadi kehilangan fungsi utamanya. Gedung Grahadi tetap menjalankan fungsi utamanya sebagai pusat kegiatan kenegaraan Jawa Timur. Berbagai seremoni pemerintahan hingga kegiatan budaya berskala provinsi kerap berlangsung di sana. Gedung ini seakan memiliki dua wajah: satu sebagai simbol pemerintahan modern, dan satu lagi sebagai pengingat masa lalu yang panjang.
Sahabat Fimela, Gedung Grahadi bukan hanya sekadar rumah dinas gubernur atau tempat acara resmi. Ia telah menjelma menjadi ikon identitas Jawa Timur. Keberadaannya menghubungkan tiga lapisan sejarah: masa kolonial, masa awal kemerdekaan, hingga era modern. Seakan menjadi saksi kota Surabaya untuk bertumbuh. Gedung Grahadi menjgajarkan kia bahwa menjaga sejarah bukan hanya soal merawat bangunan tua, tetapi juga menghormati memori kolektif yang terkandung di dalamnya. Karena tanpa mengenal masa lalu, sulit bagi sebuah daerah untuk melangkah mantap ke masa depan.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.