Male's Performative Phenomenon, Tren Baru di Kalangan Gen Z

1 month ago 15

ringkasan

  • Male's Performative Phenomenon adalah tren di kalangan pria Gen Z yang menampilkan citra terkurasi secara estetis dan emosional di media sosial untuk mendapatkan validasi dan daya tarik romantis.
  • Karakteristik fenomena ini meliputi gaya berpakaian artsy, konsumsi matcha, membaca buku feminis di publik, dan mendengarkan musik indie, seringkali tanpa substansi mendalam.
  • Fenomena ini menuai kritik karena dianggap sebagai bentuk ketidakaslian dan "feminisme palsu" yang mereduksi gerakan kesetaraan gender menjadi taktik rayuan.

Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela, belakangan ini media sosial diramaikan dengan kemunculan fenomena unik di kalangan pria Generasi Z. Dikenal sebagai Male's Performative Phenomenon, tren baru di kalangan Gen Z ini menampilkan pria dengan gaya estetis dan citra yang terkurasi.

Dilansir dari berbagai sumber, mereka sering terlihat mengenakan pakaian artsy, membawa tas jinjing, atau membaca buku feminis di tempat umum. Namun, di balik penampilan yang menarik ini, tersimpan pertanyaan besar mengenai motivasi sebenarnya dari perilaku tersebut.

Fenomena ini bukan sekadar gaya berpakaian, melainkan upaya membentuk citra tertentu demi validasi sosial dan daya tarik. Ini menjadi cerminan bagaimana Gen Z menavigasi identitas mereka di era digital yang serba terbuka.

Mengenal Ciri Khas Pria Performatif Gen Z

Fenomena performatif pria mengacu pada perilaku di mana laki-laki Generasi Z menampilkan citra yang dikurasi secara estetis dan fasih secara emosional di permukaan. Ini bukan tentang ekspresi emosional yang tulus, melainkan tentang mengenakan citra sebagai topeng. Mereka terlihat sensitif, intelektual, dan terbuka secara emosional, namun seringkali hanya tampilan luar.

Karakteristik yang sering dikaitkan dengan tren ini meliputi gaya berpakaian yang khas. Pria Gen Z ini kerap mengenakan pakaian bergaya seni atau artsy style, pakaian vintage, celana longgar, dan membawa tas jinjing atau tote bag. Mereka juga mungkin memiliki tato, rambut model mullet, serta memakai perhiasan yang menonjolkan estetika tertentu.

Tidak hanya penampilan fisik, kebiasaan dan preferensi juga menjadi bagian dari citra ini. Minuman seperti matcha latte sering menjadi pilihan, dan mereka mungkin terlihat membaca buku-buku feminis atau pengembangan diri di tempat umum. Pilihan musik juga spesifik, seperti mendengarkan artis wanita seperti Laufey atau Clairo dengan wired earbuds, bahkan jika hanya mengetahui satu lagu viral.

Penggunaan media sosial, khususnya TikTok dan Instagram, sangat memperkuat fenomena ini. Banyak konten menampilkan pria dengan estetika artistik dan referensi intelektual, menjadikan platform ini sebagai panggung utama untuk "pertunjukan" citra diri yang terkurasi.

Motivasi Tersembunyi di Balik Penampilan Estetis

Motivasi utama di balik fenomena performatif pria adalah untuk mendapatkan validasi sosial dan terlihat menarik di mata wanita. Banyak pria Gen Z di usia 20-an mulai membentuk citra ini karena karakter seperti ini dianggap menarik oleh wanita saat ini. Ini berbeda dari pandangan maskulinitas tradisional yang kaku.

Alih-alih tampil tinggi atau dominan, pria yang terlihat "memahami emosi" dan memiliki sisi lembut justru dipandang lebih dewasa dan mudah beradaptasi. Pria-pria ini berpose sebagai seseorang yang bukan dirinya demi popularitas sosial, dengan keyakinan bahwa mereka akan dihargai oleh masyarakat, terutama oleh kaum wanita.

Namun, beberapa kritikus berpendapat bahwa di balik fasad nilai-nilai progresif yang dikurasi dengan hati-hati, terdapat agenda manipulatif. Mereka ingin tampil cerdas secara emosional, sadar sosial, dan "aman", namun dengan sedikit atau tanpa komitmen terhadap tujuan feminis yang sebenarnya. Ini memunculkan kekhawatiran tentang "feminisme performatif" atau "feminisme palsu".

Tindakan ini dianggap meremehkan feminisme, mereduksinya menjadi alat rayuan semata. Feminisme bukanlah kostum yang bisa dikenakan untuk keuntungan romantis atau sosial, melainkan hasil perjuangan panjang untuk keadilan dan kesetaraan.

Kritik dan Tantangan Terhadap Keaslian

Fenomena ini telah menjadi sasaran kritik, terutama dari sesama Gen Z, yang melihatnya sebagai bentuk ketidakaslian dan "kepura-puraan". Pria performatif sering dianggap sebagai "peniru" atau "posers" yang hanya memiliki pemahaman dangkal tentang budaya yang ingin mereka tampilkan. Mereka dianggap "gaya tanpa substansi" yang tidak otentik.

Kebencian terhadap pria performatif ini sebagian besar berasal dari antagonisme terhadap ketidakaslian. Masyarakat umumnya tidak menyukai mereka yang menampilkan diri secara tidak autentik. Media sosial memperburuk masalah ini dengan menciptakan lingkungan di mana setiap tindakan dapat dianggap sebagai "pertunjukan" dan memicu perdebatan tentang keaslian.

Fenomena ini juga dapat dilihat dalam konteks redefinisi maskulinitas di kalangan Gen Z. Generasi ini secara aktif menolak definisi maskulinitas tradisional yang kaku, seperti stoikisme dan dominasi, yang dianggap toksik. Mereka mendorong ekspresi emosional yang lebih inklusif dan terbuka, didukung oleh wanita Gen Z yang mempromosikan figur publik pria dengan kualitas kontemporer.

Meskipun ada dorongan untuk mendefinisikan ulang maskulinitas, beberapa pria Gen Z masih merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dengan peran dan perilaku tradisional. Fenomena performatif ini mencerminkan bagaimana Gen Z, sebagai "penduduk asli digital", menavigasi identitas dan hubungan di era media sosial yang kompleks.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Adinda Tri Wardhani

    Author

    Adinda Tri Wardhani
Read Entire Article
Lifestyle | Fashion|