Fimela.com, Jakarta Batik tak lagi hanya hadir di momen formal. Lewat Tata Wastra 2025, wastra Nusantara, khususnya Batik Trusmi dengan motif ikonik Mega Mendung hingga Kawung, menemukan bentuk baru yang segar, modern, dan siap dipakai sehari-hari tanpa kehilangan keanggunannya.
Sejak Mei lalu, Fimela bersama Indonesian Fashion Chamber (IFC) kembali menghadirkan Tata Wastra sebagai bagian dari rangkaian Parade Wastra Nusantara. Berbeda dari tahun sebelumnya, edisi kali ini mengusung tema “Keanggunan Warisan Budaya dengan Balutan Keseharian”, menantang desainer muda untuk menciptakan karya yang tak hanya memukau di panggung, tetapi juga relevan di keseharian perempuan modern.
Dari lebih dari 300 karya yang masuk, proses seleksi panjang mengerucut menjadi 25 karya unggulan, lalu 15 semifinalis yang mengikuti workshop pada 11 Juni 2025. Hingga akhirnya, terpilihlah 5 finalis terbaik: Ayu Nur Khofipah, Nadila Nurfaiza, Desi Dwi Lestari, Carron Angel, dan Human Jasir.
Masing-masing finalis menampilkan tiga look terbaik mereka di panggung Parade Wastra Nusantara hari pertama, 8 Agustus 2025, yang digelar di Atrium Kota Kasablanka, Jakarta. Penasaran seperti apa? Yuk, intip karya-karya mereka yang memadukan kekayaan tradisi dan sentuhan kontemporer berikut ini.
Carron Angel – The Rise of Peranakan
Peragaan dibuka oleh Carron Angel dengan koleksi bertajuk The Rise of Peranakan. Ia memadukan batik megamendung dan motif kawung dalam palet pastel lembut, diperkaya kain organdi berwarna-warni. Detail renda, kancing Shanghai modern, dan teknik potongan khas seperti mandarin collar, lengan puff, front slit, hingga lace organza, menciptakan harmoni antara tradisi dan sentuhan kontemporer.
Koleksi ini terinspirasi dari akulturasi budaya Tionghoa dengan Melayu, Jawa, hingga Betawi, identitas Peranakan yang sarat sejarah. Carron menantang diri mengolah tiga kain Batik Trusmi motif megamendung dengan warna berbeda, menghasilkan busana yang tidak hanya indah, tetapi juga bercerita tentang ketangguhan lintas generasi.
Ayu Nur Khofipah – Laras Manikam
Bagi sebagian orang, gaun ulang tahun masa kecil adalah simbol kecil rasa percaya diri. Koleksi Laras Manikam dari Ayu Nur Khofipah menghidupkan kembali memori itu, bukan untuk anak-anak, tetapi untuk perempuan dewasa yang masih menyimpan semangat berani tampil dengan kelembutan.
Terinspirasi dari ulang tahunnya yang ke-6, Ayu memadukan teknik origami dan quilting pada sisa potongan kain, cotton twill, dan batik Trusmi bermotif Mega Mendung Sungaiyan, kawung peranakan, hingga sekar jagad megamendung. Salah satu look menampilkan outer multifungsi yang bisa dilepas, menciptakan siluet menyerupai cape, membuat busana ini adaptif untuk berbagai kesempatan.
“Laras” melambangkan keseimbangan antara masa lalu dan masa kini, sementara “Manikam” berarti kilau percaya diri yang lahir dari rasa dihargai dan dicintai.
Nadila Nurfaiza – YUNARA (Juara Kedua)
YUNARA berasal dari kata “Yun” (awan dalam bahasa Tionghoa) dan “Nusantara”, melambangkan semangat akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa. Terinspirasi kisah Laksamana Cheng Ho dan pertemuannya dengan budaya Cirebon, koleksi ini memadukan palet abu kabut, biru laut, dan cokelat tanah.
Siluet jubah pelaut diolah menjadi busana longgar dan flowy, sementara lengkungan arsitektur Keraton Kasepuhan diwujudkan lewat teknik embossed embroidery. Detail patchwork batik menyerupai awan dan beading berkilau menghadirkan efek “percikan hujan”.
Material yang digunakan mencakup Batik Trusmi Mega Mendung, katun tulis navy, kombinasi Pangko, denim, semi wool, hingga pleats, menciptakan busana elegan dan modern yang tetap sarat filosofi.
Desi Dwi Lestari – Rima Pesisir
Di tepian laut, ombak dan angin membawa kisah yang mengalun pelan. Itulah yang diterjemahkan Desi Dwi Lestari dalam Rima Pesisir. Menggunakan katun campuran, cuwiri, dan batik Mega Mendung khas Trusmi, ia menghadirkan siluet mengalir lembut berpadu struktur tegas yang terinspirasi batu karang.
Tiga look utamanya menonjolkan kontras: gaun panjang bernuansa netral dengan aksen batik melingkar dinamis, mantel tegas yang membalut tubuh layaknya pelindung, dan busana berlapis kain tipis dengan lekukan menyerupai jalur ombak. Palet biru laut, krem pasir, dan cokelat batu menciptakan harmoni visual yang memancarkan ketenangan.
“Tantangannya ada pada detail garis lengkung, karena itu ciri khas desain saya,” ujar Desi tentang proses kreatif yang memakan waktu sebulan.
Human Jasir – Interpretasi Anggun dengan Sentuhan Modern
Mantan tim Ghea Indonesia ini menawarkan gaya modern, clean, dan chic lewat potongan asimetris yang kuat karakter. Memadukan teknik dressmaking dan semi-tailoring, ia mengolah Batik Trusmi motif Mega Mendung pastel dan motif kawung menjadi busana yang ringan, feminin, dan wearable.
Material seperti katun jacquard, lace bunga, brokat, dan renda berpadu menciptakan tekstur berlapis yang menyegarkan tampilan batik. Palet pink, oranye, dan biru cerah memberi energi dinamis, tetap memancarkan kesan elegan.
“Harapannya, pemakainya bisa terlihat cerah auranya,” ungkap Jasir.
Tata Wastra 2025 kembali membuktikan bahwa batik bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga sumber inspirasi tanpa batas bagi para desainer muda untuk menciptakan karya yang anggun, relevan, dan siap dipakai dalam keseharian.
Berkat kreativitas, ketekunan, dan keberanian mereka mengeksplorasi Batik Trusmi, Desi Dwi Lestari berhasil meraih juara pertama, disusul Nadila Nurfaiza di posisi kedua, dan Ayu Nur Khofipah di posisi ketiga. Sementara itu, Carron Angle dan Human Jasir juga meninggalkan kesan kuat dengan interpretasi unik mereka yang memadukan tradisi dan sentuhan modern.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.