Fimela.com, Jakarta Busana tradisional Indonesia yang dikenal dengan nama kebaya, merupakan lambang keindahan dan warisan budaya yang kaya. Seiring berjalannya waktu, kebaya telah mengalami berbagai transformasi, menciptakan beragam variasi di setiap daerah yang mencerminkan kekayaan akulturasi budaya Nusantara.
Di antara berbagai jenis kebaya tersebut, dua yang sering menjadi topik menarik adalah Kebaya Encim dan kebaya 'biasa' atau kebaya pada umumnya. Walaupun keduanya termasuk dalam kategori kebaya, terdapat perbedaan mendasar yang cukup signifikan dari segi asal-usul, karakteristik desain, bahan yang digunakan, hingga perbandingan harga.
Mari kita jelajahi lebih dalam perbedaan antara Kebaya Encim, yang erat kaitannya dengan budaya Betawi dan Peranakan Tionghoa, dengan kebaya pada umumnya yang memiliki desain lebih universal dan digunakan di berbagai wilayah Indonesia.
Spesial di Hari Kartini, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya yang mengenakan sanggul dan kebaya.
Asal-usul dan Sejarah Kebaya
Kebaya, sebagai salah satu ikon busana tradisional Indonesia, memiliki jejak sejarah yang panjang dan kaya, dimulai sejak abad ke-15. Pada awalnya, kebaya menjadi pilihan busana yang populer di kalangan perempuan pribumi, terutama di lingkungan keluarga kerajaan di Pulau Jawa sebelum tahun 1600. Ketika masa penjajahan Belanda tiba, kebaya juga diadopsi oleh wanita-wanita Eropa sebagai pakaian resmi, menandakan terjadinya adaptasi budaya dalam dunia mode.
Istilah kebaya diduga berasal dari bahasa Arab qaba atau abaya, yang berarti tunik atau jubah panjang. Kata ini kemudian merambah ke Nusantara melalui pengaruh bahasa Arab dan Portugis cabaya/caba pada era penjelajahan abad ke-15 hingga 16.
Busana kebaya dibawa ke Nusantara oleh para pedagang Arab berabad-abad silam dan dengan cepat menyebar ke berbagai wilayah seperti Malaka, Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Kebaya pun menjadi busana yang umum dikenakan oleh masyarakat dari berbagai kalangan.
Sementara itu, kebaya encim memiliki keunikan tersendiri, menjadi simbol dari budaya Betawi dan Peranakan Tionghoa. Kebaya ini muncul sebagai hasil akulturasi budaya Betawi, Melayu, Tionghoa, dan Belanda pada abad ke-19, mencerminkan perpaduan harmonis dari berbagai pengaruh budaya. Asal-usul kebaya encim erat kaitannya dengan gelombang imigrasi penduduk Tionghoa ke Indonesia yang dipicu oleh aktivitas perdagangan, sehingga membawa serta tradisi busana mereka.
Perempuan Tionghoa yang menikah dengan pria lokal, sering disebut Nyai, mulai mengenakan kebaya dengan bahan yang lebih halus dan mewah, serta model yang memadukan elemen budaya Tionghoa dan lokal. Kebaya encim juga dikenal sebagai kebaya Nyonya, terutama di kalangan wanita Peranakan yang tinggal di koloni Inggris Malaya, menunjukkan betapa luasnya penyebaran busana ini.
Karakteristik Desain dan Potongan
Kebaya, sebagai busana tradisional Indonesia, umumnya dikenal sebagai pakaian atasan yang terbuka di bagian depan, terbuat dari bahan-bahan ringan seperti brokat, katun, kasa, atau renda. Dengan berbagai variasi potongan, mulai dari yang pendek sepinggul hingga yang panjang mencapai lutut atau betis, kebaya memberikan banyak pilihan menarik bagi para pemakainya.
Ciri khas kebaya sering kali terletak pada potongannya yang pas di tubuh serta bahan yang tipis atau transparan, sehingga menonjolkan siluet pemakainya dengan anggun. Beberapa jenis kebaya yang populer antara lain Kebaya Jawa, yang dikenal dengan kerah berbentuk V dan ujung bawah yang meruncing, serta Kebaya Kutubaru yang unik dengan tambahan kain di bagian dada dan perut yang disebut 'bef'. Keberagaman ini memperlihatkan bagaimana kebaya beradaptasi dengan tradisi dan selera lokal, memperkaya warisan busana tradisional Indonesia.
Kebaya Encim, misalnya, memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dari kebaya lainnya. Dikenal dengan kerah V dan hiasan bordir atau renda lebar di bagian depan, kebaya ini sering kali memiliki motif flora dan fauna yang sarat makna, seperti bunga peony khas Tiongkok, burung merak yang melambangkan kebahagiaan, burung phoenix untuk kesejahteraan, dan kura-kura sebagai simbol panjang umur.
Berbeda dengan kebaya lain yang lebih pas di badan, Kebaya Encim dirancang dengan potongan yang lebih longgar, memberikan kenyamanan ekstra saat dikenakan. Fitur lipatan di sisi baju yang terletak di tengah memudahkan pemakaian dan pelepasan. Dengan panjang yang umumnya di bawah pinggul, beberapa varian Kebaya Encim, seperti kebaya kerancang, mengadopsi model kartini dengan ujung meruncing ke bawah sekitar 20-30 cm dari bagian datar di pinggul.
Awalnya didominasi oleh warna putih, setelah Perang Dunia II, Kebaya Encim mulai tampil dalam palet warna cerah seperti merah, kuning, fuchsia, hijau lemon, dan turquoise, seiring dengan perkembangan zaman dan tren mode.
Bahan dan Penggunaan
Kebaya umum dapat dirancang dari beragam kain, seperti nilon, brokat, atau sutra, yang menawarkan banyak pilihan sesuai kebutuhan dan selera. Bahan yang sering digunakan biasanya semi-transparan, sehingga memerlukan kemben atau dalaman lainnya demi menjaga kesopanan, terutama saat menghadiri acara formal.
Sebaliknya, Kebaya Encim lebih sering menggunakan kain katun atau organza. Katun dikenal dengan sifatnya yang lentur, tidak kaku, menyerap keringat, dan menjaga tubuh tetap sejuk, membuatnya sangat nyaman untuk dikenakan di iklim tropis Indonesia.
Selain itu, bahan seperti sutra, polyester, nilon, dan brokat juga sering dipilih, namun katun balotelli menjadi favorit karena teksturnya yang berserat dan tidak mudah kusut, menjadikannya pilihan yang nyaman dan menarik.
Kebaya Encim juga sering dihiasi dengan kain brokat dan motif-motif Tionghoa yang berwarna-warni, yang sering diimpor langsung dari Tiongkok, menambah nilai estetika dan keaslian busana tersebut.
Fleksibilitas Kebaya Encim tercermin dari kemampuannya untuk digunakan dalam berbagai acara, baik formal, semi-formal, maupun kasual, tergantung pada cara memadukannya. Untuk acara semi-formal, kebaya ini bisa dipadukan dengan lilitan kain atau celana berwarna netral, menciptakan tampilan yang modern namun tetap mempertahankan unsur tradisional.
Dalam pernikahan adat Betawi, Kebaya Encim biasanya dipadukan dengan kain sarung batik dan selendang, serta perhiasan emas atau perak, melengkapi penampilan pengantin wanita. Kombinasi ini tidak hanya menonjolkan keindahan busana, tetapi juga melestarikan tradisi budaya yang kaya, menunjukkan peran penting Kebaya Encim dalam upacara adat.
Perbandingan Harga
Harga kebaya bisa sangat bervariasi, dipengaruhi oleh jenis bahan, tingkat kerumitan desain, detail bordir, dan merek yang memproduksinya. Semua faktor ini berperan penting dalam menentukan nilai jual kebaya, baik itu Kebaya Encim yang khas maupun kebaya biasa.
Menurut data dari platform e-commerce, harga Kebaya Encim mencakup rentang yang cukup luas, mencerminkan beragam kualitas dan desain yang tersedia. Misalnya, Kebaya Encim dengan bordir modern dan lengan panjang bisa didapatkan dengan harga antara Rp65.365 hingga Rp79.800. Sementara itu, model lain juga tersedia dengan harga mulai dari Rp60.000 hingga Rp265.000.
Untuk kebaya biasa atau kebaya pada umumnya, harga juga bervariasi tergantung pada model, bahan, dan detail tambahan. Anda bisa menemukan kebaya biasa dengan harga mulai dari Rp21.894 hingga lebih dari Rp399.000, menunjukkan variasi yang sangat luas.
Secara keseluruhan, harga kebaya di Indonesia berkisar dari Rp55.900 untuk rok batik sebagai bawahan hingga Rp550.000 untuk atasan dengan bahan kebaya bordiran suji, dengan harga rata-rata pasar sekitar Rp241.995.
Secara umum, Kebaya Encim cenderung lebih mahal dibandingkan kebaya biasa yang lebih sederhana, terutama karena detail bordirnya yang rumit dan penggunaan bahan yang seringkali lebih berkualitas.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.