Mengangkat Wastra Indonesia Menjadi Fashion Siap Pakai yang Relevan dan Tetap Mengedepankan Nilai Budaya Bersama Desainer Muda

1 month ago 15

Fimela.com, Jakarta Di tengah arus globalisasi fashion yang semakin cepat, wastra atau kain tradisional Indonesia seperti tenun, batik, dan songket mencuri perhatian sebagai identitas budaya yang kuat. Salah satu upaya nyata dalam mendorong pelestarian dan inovasi kain tradisional ini adalah melalui kompetisi Tata Wastra, di gelaran Parade Wastra Nusantara 2025. 

Dengan tema “Keanggunan Warisan Budaya dalam Balutan Keseharian”, kompetisi ini mengajak para desainer muda untuk merancang busana berbasis wastra yang modern, fungsional, namun tetap sarat makna budaya.

Sebagai desainer kawakan sekaligus juri dalam kompetisi Tata Wastra, Deden Siswanto menekankan pentingnya melihat karya secara menyeluruh, tidak hanya dari aspek visual. Penilaian juga fokus pada kepedulian para peserta terhadap kain yang dikelola. 

“Jadi kain tidak hanya dipotong untuk dijadikan pakaian, melainkan para peserta juga peduli terhadap kain tersebut karena biasanya setiap kain punya history. Tahun ini para peserta membuat busana ready to wear tidak untuk kostum,” ujar Deden Siswanto dalam Talk Show Cerita Wastra di Parade Wastra, Kota Kasablanka, Jakarta (8/8/25). 

Menurut Deden, perkembangan fashion berbasis wastra saat ini menunjukkan progres signifikan. Ia mengatakan wastra sejak lama sudah menjadi favorit masyarakat, terlihat kini wastra menjadi dress code diberbagai acara. 

Antara Estetika dan Nilai Budaya

Dalam proses penjurian, Deden mengaku bahwa membedakan antara desain yang hanya “cantik” dengan yang benar-benar memiliki nilai budaya adalah hal krusial. 

“Melihat generasi muda saat ini semua insta, maka para peserta harus mendalami nilai wastra tersebut karena kain setiap daerah memiliki filosofi. Paham dengan kain yang dikenakan, seperti ada bahan yang tidak bisa dipecah atau dipotong. Jadi tetap ready to wear dari wastra bisa dipakai dan memiliki nilai,” katanya. 

Ia percaya bahwa kompetisi seperti Tata Wastra memiliki kontribusi besar dalam pelestarian budaya, sekaligus membuka ruang bagi inovasi baru. Namun tetap butuh support system seperti kerjasama dengan pemerintah. 

Menurutnya, wastra mulai populer ketika banyak orang mengenakan batik sebagai outfit sehari-hari hingga kain-kain daerah lain pun mulai dikenal. 

“Batik menjadi favorit, kini setiap provinsi memiliki wastra. Jadi sekarang, nggak pakai wastra justru nggak keren. Maka wastra kini menjadi andalan,” ujarnya. 

Namun, tantangan tetap ada. Deden Siswanto menyampaikan jika tantangannya ialah menjual ready to wear dengan bahan baku wastra harganya harus disesuaikan. Sebab, para fashion desainer juga mengambil bahan baku dari pengrajin. 

“Jadi bahan baku dari pengrajin yang kita olah bisa mudah dibeli orang,” paparnya 

Selain itu, untuk pakaian modest, Deden juga mengatakan harus sesuai kaidah. Ini pun menjadi salah satu tantangan tersendiri. 

Visi Fimela Menjadikan Wastra sebagai Fashion Masa Kini

Sementara itu, dari sisi penyelenggara, Adinda Tri Wardhani selaku perwakilan Fimela menjelaskan bahwa motivasi utama di balik Tata Wastra adalah dorongan untuk melestarikan budaya lokal dan menjadikannya bagian dari fashion yang relevan bagi generasi muda. 

“Kami ingin mendorong pelestarian budaya lokal, khususnya wastra seperti batik, tenun, songket, dll. Melalui kompetisi ini, wastra Nusantara tidak hanya dilestarikan tetapi juga dikenalkan kembali ke generasi muda dalam format yang modern dan relevan,” ujarnya. 

Adinda juga menyampaikan kompetisi seperti Tata Wastra membuka ruang bagi desainer muda dan UMKM fashion lokaluntuk unjuk gigi dan memperluas jaringan. Dan Fimela mendorong lahirnya talenta baru yang bisa menggabungkan unsur budaya dengan tren fashion global.

“Sebagai media digital, Fimela memanfaatkan inisiatif ini untuk Meningkatkan interaksi dengan audiens yang memiliki minat pada fashion dan budaya,” jelas Adinda.

Adinda juga mengamati bahwa tren busana berbasis wastra kini bergerak ke arah yang lebih modern. Misalnya, tenun yang dipadukan dengan denim, atau batik dengan siluet oversized ala streetwear Korea. “Tren ini menjadikan wastra lebih fungsional tanpa kehilangan identitasnya,” ujarnya.

Dalam kompetisi Tata Wastra tahun ini, para finalis menunjukkan keberagaman pendekatan yang menarik. Dapat melihat ciri khas desain dari masing-masing finalis yang sudah mampu terjun ke industri fashion, 

“Dalam prosesnya kita dapat melihat masing-masing dari finalis yang terpilih ini memiliki ciri khas desain dan target market yang berbeda-beda. Sehingga masing-masing dari mereka memiliki peluang yang sama besar nya untuk terjun ke industri fashion. Karya-karya mereka ini nantinya akan menggambarkan tren fashion berbasis cerita dan identitas, bukan sekadar visual semata,” ujarnya. 

Adinda mengatakan Fimela  menaruh harapan besar agar wastra Indonesia tak lagi dianggap sebagai sesuatu yang “jadul” atau “hanya untuk orang tua”. Melalui Tata Wastra, kain-kain tradisional ini diharapkan bisa menembus batas usia, kelas sosial, bahkan negara. 

“Kami ingin melihat desainer Indonesia membawa wastra ke Paris, Milan, dan Tokyo Fashion Week. Tak hanya cantik secara visual, tapi juga membawa filosofi dan kisah Nusantara ke panggung dunia,” tutup Adinda.

Sahabat Fimela, Parade Wastra Nusantara 2025 hadir berkat dukungan sponsor dari PT Pertamina Persero, Bank BRI, Permodalan Nasional Madani, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan melalui Dinas Komunikasi dan Informatika, Pemkot Tarakan, PT Kereta Api Indonesia (Persero).

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Read Entire Article
Lifestyle | Fashion|